Dr. Suhandi, M.Pd.I
Kepala Bagian P2QD Yayasan Ummul Quro Bogor
Ketua Majlis Pendidikan PD Al-Washliyah Kota Bogor
Sepekan terakhir, insan pendidikan Indonesia sedang gusar dan geram dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaaan Undang Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP yang tebalnya 484 halaman ditambah penjelasan 174 halaman itu terlihat begitu komprehensif. Akan tetapi, jika ditelusur lebih detail terdapat pasal yang meresahkan dunia pendidikan di negeri ini, yaitu pada pasal 103 ayat (4) poin (e) tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi anak.
Jika melihat substansi yang diatur dalam PP tersebut terkaitan dengan upaya kesehatan sistem reproduksi pada usia sekolah dan remaja. Pada Pasal 103 ayat (4) djelaskan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi  yang diberikan untuk anak usia sekolah dan remaja paling sedikit meliputi : a. deteksi dini penyakit atau scrining; b. pengobatan; c. rehabilitasi; d. konseling; dan e. penyediaan alat kontrasepsi.
Pemerintah 'Kecolongan'
Penyediaan alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja merupakan bentuk 'kecolongan' pemerintah terhadap upaya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam melegalkan pergaulan bebas di luar nikah dengan dalih kesehatan reproduksi. Bentuk-bentuk pergaulan bebas tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan juga terancam hukuman pidana karena melanggar UU KUHP tentang Tindak Pidana Kesusilaan.
Penyusunan PP ini pastinya melibatkan banyak pihak, sehingga tidak mungkin klausul penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja itu muncul tiba-tiba. Alih-alih pemerintah menguatkan pendidikan karakter, dengan masuknya klausul ini justru akan mendegradasi pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan pelajar. Dengan masuklnya klausul 'menyesatkan' ini patut dicurigai ada penyusup yang dengan sengaja ingin merusak generasi bangsa Indonesia. Negara jangan tersandera dengan kepentinga-kepentingan ideologi free-sex yang menyusup ke pemerintah, tetapi negara harus menjadi penteng yang kokoh bagi terjaganya ideologi Pancasila.
Dunia Pendidikan Gusar
Dunia pendidikan merasakan kegusaran bahkan keprihatinan yang mendalam, dengan respon dari berbagai pihak atas terbitnya PP ini. Berbagai kalangan insan pendidikan Indonesia menilai jika PP ini diberlakukan maka akan mengancam runtuhnya nilai-nilai budaya dan agama yang selama ini dibangun dan dikuatkan.Â
Dunia pendidikan kita memang memiliki pekerjaan rumah yang berat dalam mencegah perilaku hubungan bebas di kalangan pelajar. Tahun 2022 Dinas Pendidikan Kota Bandung pernah merilis hasil survey perilaku pergaulan bebas kepada pelajar. dari 60 responden 56 persen penyatakan pernah melakukan hubungan badan (sumber: Repubika, 07/07/2022). Selain data tersebut, fenomena pergaulan bebas di kalangan pelajar dan remaja bagaikan gunung es, yang nampak terlihat sedikit tapi realitasnya begitu banyak, apalagi terjadi di kota-kota besar termasuk Bogor sebagai kota penyangga ibu kota.
Kehadiran PP yang memfasilitasi pemberian alat kontrasepsi kepada anak usia sekolah dan remaja seolah menjembatani pelegalan hubungan bebas di kalangan pelajar. Karena yang dipahami dari klausul pada PP Nomor 28 tahun 2024 khususnya Pasal 103 bahwa penyediaan alat kontrasepsi menjadi bentuk edukasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama. Model edukasi dengan memberikan alat kontrasepsi ini seyogyanya mengadopsi bentuk-bentuk yang dilakukan oleh dunia Barat yaitu bentuk CSE (Comprehensive Sex Education), dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama yang ada di Indonesia.
Perbaiki Regulasi, Perkuat Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
Penanganan pergaulan bebas di kalangan anak usia sekolah dan remaja ini menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu, kemunculan klausul yang memfasilitasi pemberian alat kontrasepsi sangat tidak mendukung upaya di atas, justru akan memperparah kondisi pendidikan dan pergaulan anak bangsa. Sehingga, kami menuntut dengan tegas kepada pemerintah dan juga anggota dewan untuk menghapus dan merepisi PP Nomor 28 tahun 2024 khususnya Pasal 103.
Sinergi pendidikan antara rumah dan sekolah tidak bisa dipisahkan. Sekolah bukanlah tempat penitipan anak. Sekolah adalah institusi mitra orang tua dalam mendidik anak, sehingga peran orang tua tetap besar, bukan hanya sekedar peran finansial. Pentingnya membangun kesadaran dan pembagian peran pendidikan antara sekolah dan orang tua dengan berbagai kegiatan kolaborasi.
Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan menjadikan nilai-nilai agama dan budi pekerti sebagai dasar dalam kehidupan sebagaimana termaktub dalam sila pertama Pancasila. Mendidik dan menguatkan pendidikan agama dan budi pekerti menjadi keharusan dan harus mendapatkan porsi yang besar, baik di sekolah maupun di rumah.Â
Jika kita melihat amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tentunya kita berharap, anak-anak usia sekolah dan remaja kita bisa tumbuh, berkembang dan selamat dari berbagai penyakit yang merusak masa depan mereka, termasuk terbebas dari penyakit pergaulan bebas. Amiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H