Mohon tunggu...
Kang Suhandi
Kang Suhandi Mohon Tunggu... Guru - Tinggal di Bogor

Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lockdown, Kekuatan Para Pembisik

28 Maret 2020   14:37 Diperbarui: 10 Oktober 2023   10:43 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.suara.com/health/2020/03/18/140441/terungkap-alasan-pemerintah-belum-terapkan-lockdown-karena-virus-corona

(Sebuah Analisa Kepemimpinan)

Sejatinya, pemimpin tidak berdiri sendiri dalam menunaikan tugas-tugasnya. Pemimpin membutuhkan orang-orang yang ia percaya berada di lingkungan sekitarnya. Kenapa demikian, karena kepemimpinan adalah seni saling mempengaruhi, seperti dikemukakan oleh para ahli di antaranya Georger R. Terry yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.

Begitu pula presiden, gubernur, bupati ataupun walikota, sebagai kepala negara, kepala pemerintahan di pusat ataupun di daerah, mereka akan sangat dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, yang biasa disebut "para pembantu"nya. 

Pemimpin tidak hanya mempengaruhi bawahan, akan tetapi ia pun akan dipengaruhi pola pikir dan kebijakannya oleh bawahannya. Dengan apa? Dengan data-data, informasi, pendapat yang disodorkan kepadanya. Bisa jadi, keputusan seorang pemimpin kurang tepat, bukan karena dirinya yang lemah, tapi karena data dan informasi yang disodorkan kepadanya lemah.

Isu yang sekarang hangat di tengah wabah virus coronan (Covid-19) yang semakin meluas adalah dorongan kepada pemerintah untuk melakukan LOCKDOWN. 

Lockdown itu sendiri artinya situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya (sumber: suara.com, diakses tanggal 28 Maret 2020)

Sejatinya, kewenangan melakukan lockdown ada di tangan pemerintah pusat. Hal ini sebagaimana aturan soal lockdown yang tertuang dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 4. 

Di UU tersebut dijelaskan bahwa lockdown merupakan wewenang pemerintah pusat atau menteri terkait. Kepala daerah tak boleh mengambil keputusan lockdown begitu saja dan harus berkordinasi dengan pemerintah pusat. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi serius yaitu 1 tahun masa kurungan dan denda Rp100 juta.

Akan tetapi, sampai saat ini setidaknya ada dua daerah yang menyatakan lockdown, walaupun tidak secara tegas menggunakan istilah tersebut, seperti yang terjadi di Kota Tegal (lihat : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200327083557-20-487375/tegal-lockdown-49-jalan-akan-ditutup-beton-tamu-diisolasi) dan Provinsi Papua (lihat : https://fajar.co.id/2020/03/26/papua-lockdown-lukas-enembe-transportasi-barang-tetap-masuk/). Kebijakan sepihak yang diambil oleh kepala daerah sejatinya bukan karena upaya melangga UU Kekarantinaan Kesehatan, akan tetapi lebih mengamankan situasi dan kondisi wabah yang dinilai sangat membahayakan.

Pertanyaannya, kenapa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di pusat belum berani memutuskan untuk melakukan lockdown? Sementara beberapa daerah sudah melakukannya, walau ada yang tidak tegas menggunakan istilah lockdown? Jawabannya, tentu karena data yang dimilikinya berbeda. Kenapa? Karena sumber data itu pun berbeda. Nah, di sini yang ingin saya ungkap lebih pada orang-orang yang menodorkan data dan temuan sang pemimpin terhadap kondisi-kondisi di lapangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun