Sering kita dapati pernyataan "netral" terutama di saat perhelatan politik di negeri ini. Misalnya, anggota Polisi harus netral dalam melaksanakan pengamanan, anggota TNI harus netral dan profesional dalam menjaga NKRI, dan seorang wasit harus netral saat memimpin pertandingan.
Bahkan polemik wacana penunjukan Perwira Tinggi (Pati) Polri sebagai Plt. Gubernur saat masa kampanye Pemilu Kepala Daerah menjadi perbincangan hangat. Hal ini timbul kontroversi karena dikhawatirkan terjadi keberpihakan Polri karena terdapat pasangan calon gubernur mantan petinggi Polri.
Sementara, Menteri Dalam Negeri pun menjelaskan di antara wacana penunjukkan Pati Polri sebagai Plt. Gubernur dalam rangka menjaga netralitas PNS atau ASN. Jadi, sama-sama menjaga netralitas tapi sama-sama khawatir terjadi keberpihakan kepada pasangan calon tertentu.
***
Merujuk terminologi di atas, apakah setiap kita dapat bersikap netral dalam arti tidak berpihak sama sekali dalam menghadapi suatu keadaan? Rasanya akan sangat sulit, karena di antara seni kehidupan ini ada yang disebut seni memilih.
Setiap manusia pasti punya pilihan-pilihan. Dan objek yang dipilih tersebut bisa jadi berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orang yang ada di sekitarnya. Perbedaan pilihan ini disebabkan landasan, pijakan dan argumentasi yang digunakan juga berbeda.
Dalam praktiknya, sikap netral sesungguhnya bukan berarti tidak memihak sama sekali. Akan tetapi, pensikapan yang proporsional terhadap sebuah urusan. Sebagai contoh, jika seorang wasit yang memimpin pertandingan sepak bola memang perlu netralitas, dalam arti memihak untuk memenangkan salah satu kesebelasan.
Akan tetapi, di saat memimpin pertandingan sang wasit tidak bisa murni netral, ia harus bersikap proporsional. Apa yang dijadikan ukuran? Ya, aturan pertandingan harus ditegakkan dengan adil.
***
Penegakan aturan adalah sebuah keberpihakan. Maka, netralitas harus diikuti oleh proporsionalitas. Di sanalah keberpihakan pada aturan, keberpihakan pada norma dan kebenaran.