Anomali Politik
PEMILIHAN UMUM (pemilu) serentak 2019 ini, tinggal menghitung hari. Gelombang pesan melalui berbagai media sosial dan aplikasi whathsaap serta lain sejenisnya, dengan beragam isu terus menghantui.
Dominasi politik kekuasaan, terus menghias dikapitalisasi dengan berbagai "bahasa" melalui media sosial (facebook, whatsApp, twitter, dan lain sejenisnya). Perselingkuhan politik mengatasnamakan agama, terus menerus dinarasikan sebagai strategi dan taktik mengejar kavling -- kavling kekuasaan.
Ruang publik yang sejatinya menjadi "hak milik" pemilik kedaulatan, justru terkikis karena nilai -- nilai etika politik berbangsa dan bernegara, nyaris berada pada titik nadir.
Konstatasi politik nasional Indonesia ini, sedang gundah gulana. Institusi demokrasi, sibuk dengan panggung pencitraannya, baik itu di ranah suprastruktur maupun infrastruktur politiknya.Â
Peran dan fungsi yang sejatinya dijalankan sebagaimana mestinya, terseok -- seok karena digelayuti kepentingan yang sempit.
"Drama politik" basa basi perjuangan untuk kepentingan rakyat, terus dirajut dan dihiasi dengan berbagai argumentasi yang terdengar indah, namun pembumiannya, entahlah. Akan tetapi, sesungguhnya merajut selamatkan asset -- asset kekuasaan yang ada dan merebut sumber -- sumber daya kekuasaan lainnya, justru yang terjadi.
Basisnya, pengejaran kepentingan tak terbantahkan. Padahal, politik itu sebagai pengejaran kepentingan umum (bonnum commune), dimana politik adalah pengelolaan kehidupan dalam rangka public goals.
Pertama, rentetan problematika aspirasi masyarakat yang berkembang, sejatinya disambut dengan "riang gembira' oleh institusi demokrasi. Kontribusi lembaga demokrasi senantiasa amat diperlukan kualitas perannya dalam merajut dan mengangkat martabat hak -- hak rakyat.
Kedua, institusi -- institusi demokrasi itu, berperan aktif mengembangkan nilai -- nilai demokrasi secara substantif. Bukan berhenti di tingkat prosedural. Dalam arti, semua hak-hak rakyat terlindungi dan dijamin eksistensinya, karena lembaga demokrasi tanpa disangga oleh rakyat pun tidak mempunyai kekuatan yang berarti.
Persoalannya, politik mengejar kekuasaan bersembunyi dibalik sentimen -- sentimen SARA dengan narasi -- narasi kebencian dan hoaks, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dewasa ini.Â