Mohon tunggu...
Silahudin Din
Silahudin Din Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parpol, Aktor Peserta Pilkada

2 Agustus 2017   11:08 Diperbarui: 16 Juni 2018   08:16 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SALAH satu fungsi partai politik (parpol) secara niscaya adalah rekruitmen politik (kader partai) untuk menjadi salah satunya (bakal) calon kepala daerah - wakil kepala daerah, dalam (rangka) proses pengisian jabatan pimpinan daerah (pemerintahan) melalui proses pemilihan secara demokratis.

Dalam konteks ini, parpol secara sadar sudah mulai melakukan proses penjaringan bakal calon kepala daerah - wakil kepala daerah dalam Pilkada Serentak tahun 2018. Pilkada Serentak tahun 2018 diselenggarakan pada 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) sudah di ambang pintu.

Dan parpol sebagai institusi demokrasi dalam penjaringannya sesuai dengan mekanisme internal parpol masing - masing, yang bisa jadi setiap parpol memiliki kekhasan (perbedaan) satu sama lain dalam rekruitmen bakal calon kepala daerah - wakil kepala daerah. Persoalannya, sudahkah parpol menyiapkan kader - kader (terbaiknya) dalam ikut serta bertarung secara demokratis dalam pilkada?

Parpol mempunyai tanggung jawab sebagai aktor utama peserta pilkada menyiapkan kadernya untuk dipilih oleh rakyat di daerah masing - masing. Mental untuk menyiapkan kadernya abai, berarti parpol tersebut gagal dalam kaderisasi. Inilah tantangan bagi parpol untuk menyiapkan kader terbaiknya.

Pilkada Serentak tahun 2018, merupakan arena demokratis dimana rakyat pemilih menentukan alternatif pilihan kepala daerah - wakil kepala daerah, untuk memimpin daerahnya. Karena itulah, parpol sudah sejatinya (untuk mengembalikan citranya di mata publik) harus benar - benar "menyuguhkan" calon kepala daerah yang mumpuni untuk mengembangkan, dan melaksanakan pemberdayaan pembangunan masyarakat dan daerahnya ke arah yang baik seiring dengan kontekstual daerahnya masing - masing.

Dengan demikian, secara prinsip, setiap parpol dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Namun parpol yang punya hak untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah itu, demi tertib "aturan main" pun, atau prinsip keadilan harus sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Pertama, parpol bisa sendiri mengajukan pasangan calon kepala daerah bilamana memiliki kursi 20 persen di legislatif daerah (DPRD) atau 25 persen suara hasil pemilu. Kedua, gabungan parpol (baik yang memiliki kursi di legislatif daerah maupun tidak memiliki kursi) mempunyai hak untuk mengajukan pula pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan minimal tadi (20 persen kursi atau 25 persen suara hasil pemilu). Dengan demikian, dalam pemilihan kepala daerah, institusi demokrasi yang mempunyai hak dan kewajiban mengajukan pasangan calon kepala daerah - wakil kepala daerah, adalah parpol.

Menyimak fungsi parpol yaitu merekrut calon pemimpin daerah, mestinya ini menjadi bagian integral parpol jauh - jauh hari menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada serentak. Sehingga, tidak ada alasan parpol tidak bisa menyiapkan kadernya, kalau memang parpol tersebut secara sungguh - sungguh melakukan kaderisasinya secara baik dan benar. Kenapa demikian?

Pertama, kalau kita tengok  pada Pilkada Serentak tahun 2015 dan 2017, banyak daerah, hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal). Dalam Pilkada Serentak 2015 dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 13 daerah hanya ada satu pasangan calon. Dan selanjutnya, KPU saat itu memperpajang masa pendaftaran untuk 13 daerah tersebut, kendati hasilnya dari 13 daerah yang masa pendaftarannya diperpanjang, hanya 6 daerah saja ada yang melakukan pendaftaran pasangan calon, dan sisanya 7 daerah masih tetap calon tunggal. Begitu pun di Pilkada Serentak 2017, dari 101 daerah, 9 (Sembilan) daerah, hanya memiliki calon tunggal.

Dari fakta tersebut, kondisi ini, diakui atau tidak, ada semacam hegemoni atau semacam "konspirasi politik" parpol, yang secara sengaja, sehingga rakyat pemilik kedaulatan di daerah tidak diberi kebebasan alternatif pilihan untuk menentukan pemimpin daerahnya.

Kedua, parpol sebagai institusi demokrasi yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, dengan sadar "tidak ikut" partisipasi dalam menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada tersebut. Ini ironis, dengan menggebu - gebunya parpol berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik, akan tetapi dalam pilkada tidak ikut serta mengajukan calon kepala daerah (baca: mengusung sendiri atau gabungan parpol). Dalam bahasa lain, parpol - parpol itu, diakui atau tidak, tidak siap bersaing atau kompetisi dalam pilkada serentak (2015 dan 2017) dengan beragam macam alasanya, seperti antara lain karena incumbent(petahana) misalnya, yang diasumsikan sangat kuat, dan tidak mempunyai kader yang mumpuni untuk memimpin daerah, serta juga argumen - argumen irasional lainnya pula.

Dengan demikian, calon tuggal dalam pilkada serentak, bukan merupakan hal yang menggembirakan bagi kehidupan sirkulasi pemilihan pasangan kepala daerah - wakil kepala daerah secara demokratis. Justru diakui atau tidak diakui, parpol memperkosa hak - hak politik rakyat untuk menentukan pilihannya dalam memlih pasangan kepala daerah - wakil kepala daerah tersebut. Sebab, rakyat yang sudah memiliki hak pilih dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya terkerangkeng dengan disuguhkan calon tunggal.

Dari titik simpul persoalan itulah, maka untuk Pilkada Serentak tahun 2018 yang diikuti 171 daerah, sekali lagi bahwa parpol sebagai institusi yang berhak mengajukan pasangan calon tersebut, merupakan momentum mengembalikan citra (kepercayaan) parpol di mata publik dengan menyuguhkan pasangan calon kepala daerah - wakil kepala daerahnya yang mumpuni dalam mengelola kehidupan pemerintahan dan pembangunan daerah serta memberdaykan masyarakatnya dengan program - program yang rasional komprehensif dapat dilaksanakan.

Itu sebabnya, belajar ambil hikmah dari pilkada serentak sebelumnya, tampaknya pilkada serentak tahun 2018 bagi parpol - parpol sebagai aktor utama peserta pilkada, harus menyiapkan dan menyediakan pasangan calon kepala daerah - wakil kepala daerah yang menjadi alternatif pilihan masyarakat di daerahnya masing - masing. Bukan sebaliknya, pilkada serentak di banyak daerah yang pasangan calonnya tunggul. Kalau ini yang terjadi di Pilkada Serentak 2018, berarti inilah merupakan potret fungsi parpol dalam rekruitmen politik (pemimpin) sebagai kegagalan kaderisasi menyiapkan kader - kader (politik) pemimpin untuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan bagi parpol atau gabungan parpol tidak menyiapkan kader -- kadernya untuk bersaing dalam pilkada serentak.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun