Dengan demikian, calon tuggal dalam pilkada serentak, bukan merupakan hal yang menggembirakan bagi kehidupan sirkulasi pemilihan pasangan kepala daerah - wakil kepala daerah secara demokratis. Justru diakui atau tidak diakui, parpol memperkosa hak - hak politik rakyat untuk menentukan pilihannya dalam memlih pasangan kepala daerah - wakil kepala daerah tersebut. Sebab, rakyat yang sudah memiliki hak pilih dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya terkerangkeng dengan disuguhkan calon tunggal.
Dari titik simpul persoalan itulah, maka untuk Pilkada Serentak tahun 2018 yang diikuti 171 daerah, sekali lagi bahwa parpol sebagai institusi yang berhak mengajukan pasangan calon tersebut, merupakan momentum mengembalikan citra (kepercayaan) parpol di mata publik dengan menyuguhkan pasangan calon kepala daerah - wakil kepala daerahnya yang mumpuni dalam mengelola kehidupan pemerintahan dan pembangunan daerah serta memberdaykan masyarakatnya dengan program - program yang rasional komprehensif dapat dilaksanakan.
Itu sebabnya, belajar ambil hikmah dari pilkada serentak sebelumnya, tampaknya pilkada serentak tahun 2018 bagi parpol - parpol sebagai aktor utama peserta pilkada, harus menyiapkan dan menyediakan pasangan calon kepala daerah - wakil kepala daerah yang menjadi alternatif pilihan masyarakat di daerahnya masing - masing. Bukan sebaliknya, pilkada serentak di banyak daerah yang pasangan calonnya tunggul. Kalau ini yang terjadi di Pilkada Serentak 2018, berarti inilah merupakan potret fungsi parpol dalam rekruitmen politik (pemimpin) sebagai kegagalan kaderisasi menyiapkan kader - kader (politik) pemimpin untuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan bagi parpol atau gabungan parpol tidak menyiapkan kader -- kadernya untuk bersaing dalam pilkada serentak.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H