Senandung pagi di Jakarta, merajut impian mendamba. Gerombolan manusia, berlalu lalang menepi impian. Namun, kegelisahan dari gerak langkahnya, berujung kekesalan dengan seabreg kemacetan yang tak pernah tuntas.
Wacana solusi, membusa yang datang dari ahlinya: jakarta serahkan kepada ahlinya. Entah ahli yang sesungguhnya, atau ahli-ahlian untuk "menipu" warganya. Oleh karena, hingga kini pemandangan kemacetan lalu lintas terus nampak di depan mata. Banjir pun senantiasa menghantui warganya, ketika hujan tiba dan musim hujan datang.
Kata-kata nyaris serupa datang kembali saat ini, saat Jakarta merebut hati masyarakatnya dalam "politik musiman", yaitu lima tahun sekali yang bernama Pilkada Gubernur.
Pilkada Gubernur DKI Jakarta diselenggarakan 11 Juli 2012 yang lalu, yang diikuti 6 (enam) pasangan. Tak ada kandidat yang memperoleh 50 persen plus 1, namun yang terjadi ada dua pasangan yang lolos untuk putaran ke 2 (dua) yaitu: Faozi Bowo - Nahrowi dan Jokowi - Basuki.
Foke yang diprediksi keluar sebagai pemenang oleh lembaga survey pada putaran pertama dengan suara 50 persen lebih, justru keok oleh Jokowi - Basuki. Sedangkan Jokowi - Basuki pada putaran pertama mendulang simpatik suara 42 persen lebih, dan mengalahkan Foke.
Kini putaran kedua pemilukada Gubernur DKI Jakarta sedang berlangsung dan dengan pemungutan suara 20 September 2012 nanti. Kedua kandidat sama-sama berjuang untuk memperoleh simpatik warga Jakarta dengan berbagai varian yang dilakukan oleh kandidat tersebut. Bahkan tak lepas pula gesekan pun terjadi dengan berbagai cara yang dilakukan.
Jokowi - Basuki terus diserang dengan berbagai isu di antaranya terkait dengan SARA, begitupun incumbent Gubernur Foke, dinilai arogan dengan kekuasaan yang dijalankannya dan bahkan dalam kepemimpinannya selama jadi gubernur tidak menunjukkan kemajuan dan prestasi yang luar biasa.
Kampanye putaran kedua ini sedang berlangsung. Foke dalam kampanyenya salah satu programnya ketika berdialog dengan warga Angke Jakarta Utara, "berkomitmen melanjutkan pembangunan untuk terus menata kawasan padat penduduk." (Kompas,16/09/2012)
"Sejak tahun 2007, saya merintis program pembangunan berbasis komunitas. Dengan demikian, sasaran pembangunan bisa tepat. Harapannya, semua lapisan masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan," tutur Fauzi saat mengunjungi Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi, Muara Angke, Jakarta Utara. (Kompas,16/09/'12).
Sementara, Jokowi saat berdialog dengan warga, "menegaskan akan membangun Jakarta mulai dari kampung, bukan lagi dari pusat kota. Jalan-jalan kampung, drainase, dan septic tank, akan dibenahi untuk menciptakan kampung yang lebih baik. Selama ini Jakarta selalu dibangun dari pusat kota." (Kompas,16/09'12)
Penulis ketika membaca statement Jokowi di atas, teringat pada suatu hari setelah putaran pertama selesai dan tepatnya bulan Agustus berkesempatan ngobrol dengan beberapa relawan Jokowi - Basuki. Dalam obrolan itu masih terngiang di telinga penulis adalah "benar Jokowi kata orang-orang tua Betawi bahwa membangun itu mulai dari kampung-kampung."
Lanjut orang salah satu relawan itu dalam obrolannya, "inilah yang mungkin hilang selama ini, yaitu dalam kearifan lokal Betawi ada yang disebut "krek"." Jelasnya.
Penulis terus terang tidak tahu yang dimaksud dengan kata "krek" itu, namun mendengar substansi obrolan waktu itu, penulis menangkap maknanya kira-kira begini "menunjukkan pada kepedulian terhadap persoalan kearifan lokal betawi yang artinya, bahwa Jokowi diterima oleh masyakat Betawi juga".
Memang, kalau menyimak Pemilukada Gubernur DKI Jakarta ini, tampaknya yang satu sebagai incumbent Gubernur, jelas bagaiaman pasangan ini terpilih untuk kedua kalinya dengan terus menerus inten berkunjung ke simpul-simpul masyarakat di putaran kedua ini, dan sangat kontras dengan putaran pertama, incumbent ini relatif kurang sering turun ke bawah (entah karena terlalu PD menang sebagaimana hasil survey waktu itu).
Di pihak lain, pasangan Jokowi - Ahok, dengan kesederhanaannya kata orang, justru membawa simpatik warga terutama dengan program-program yang ditawarkan dalam pementingan warga masyarakat Jakarta. Bahkan yang acapkali geleng-geleng kepala "ko kenapa ya ada banyak warga dengan rela beli baju kotak-kotak. Dan ada apa di Jokowi," itulah salah satu kalimat dari salah seorang warga yang penulis temui ketika saat berada di Jakarta.
Di sini, ada kegalaun dan sekaligus kerinduan warga masyarakat DKI Jakarta terhadap pemimpin yang memang benar-benar marakyat dan sekaligus memberi pelayanan untuk kesejahteraan rakyat.
Lima tahun ke depan DKI Jakarta, setidaknya ditentukan oleh warganya nanti pada tanggal 20 September 2012 untuk memilih dan menentukan pemimpinnya.
Kembali kepada warga DKI Jakarta, apakah akan menentukan pilihannya kepada pemimpin yang memang memiliki "energi harapan" dengan secangkir air harapannya, atau tetap memilih pemimpin seperti kondisi saat ini Jakarta. Dalam bahasa lain, menentukan pilihan yang pro status quo, atau memilih pemimpin yang pro perubahan untuk kepentingan masyarakat DKI Jakarta.
Selamat menentukan pilihan dan damailah dengan keanekaragamannya.
Bandung, 16 September 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H