Mohon tunggu...
Silahudin Din
Silahudin Din Mohon Tunggu... Dosen - Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Berbagi info, menuai setetes pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Energi Bangsa

24 September 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Silahudin

ROBOHNYA rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, tampak belum membawa pada penyelenggaraan kehidupan politik negara bangsa yang kondusif. Salah guna pemerintahan dalam menata tatanan negara bangsa ini, terutama tata pemerintahan yang baik (good governance) masih jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan dan menjadi tontonan justru akrobatik politik elit politik dalam memperebutkan kekuasaan.

Kenyataan dalam kehidupan politik negara bangsa dengan membangun Indonesia yang demokratis, acapkaki terjebak egoisme politik masing-masing.Dalam bahasa lain, politik mengurus “dapur sendiri” terus-menerus menonjol menjadi tontonan di negeri ini. Sehingga keberadaannya pada lembaga-lembaga negara, baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif belum menyentuh kepentingan publik, namun yang mencolok mereka elit politik “sibuk” melayani diri sendiri untuk kepentingan kelompoknya.

Propaganda politik untuk memertahankan akses-akses kekuasaannya, telah menggeser harapan publik, oleh karena kepastian kehidupan sosial politik, ekonomi dan hukum hanya terpayungi oleh wacana, namun miskin dalam tindak realitasnya. Pada titik simpul ini, kemanakah energi kolektif bangsa ini, atau memang energi kolektif bangsa ini dihambur-hamburkan hanya untuk saling menyelamatkan kepentingan kelompoknya masing-masing?

Pola pembangunan yang telah dipraktekkan selama ini, tampaknya masih jauh dari keinginan mengangkat derajat kemanusiaan, oleh karena memang mengorbankan aspirasi dan partisipasi politik rakyat yang berefek lanjutan pada peradaban politik yang tidak demokratis-mensejahterakan.

Pembangunan dengan mengedepankan emansipatoris partisipasi politik rakyat, secara niscaya patut menjadi konsideransi yang signifikan. Rakyat tidak diasingkan dalam penggodogan pembangunan, melainkan terlibat agar rakyat sendiri merasa memiliki dan bertanggungjawab terhadap kepentingan pembangunan.

Dengan perkataan lain, politik keadilan dan pemerataan (bukan semata-mata pertumbuhan) sebagai kiblat pembangunan harus mendapat focus of interest yang diprioritaskan. Tanpa merujuk arti penting politik keadilan dan pemerataan, secara niscaya pergualan kehidupan politik negara bangsa yang diskriminatif dan sekaligus eksklusif akan senantiasa terulang kembali. Untuk itulah, harus menjadi kesepahaman kita sebagai bangsa bahwa ketimpangan dan kesenjangan ternyata telah membawa efek pada sendi-sendi kehidupan negara bangsa ini retak.

Konflik elit dengan elit dan konflik elit penguasa dengan rakyat serta konflik rakyat dengan rakyat, tampaknya membutuhkan penyelesaian yang arif. Dalam arti membedah persoalan dan perwujudan solidaritas sosial dan sebangsa sebagai energi kolektif bangsa tak ayal lagi adanya kehendak yang diubah untuk membangun kehidupan politik yang adil dan kepentingan tata pemerintahan yang baik.

Negara sebagai instrumen kolektif sejatinya membangun “proyek pembangunan” untuk kepentingan semua lapisan rakyat dalam wilayah negara ini. Bukan sebalikya, negara ini hanya dijadikan “instrument” untuk memberi keistimewaan sekelompok kecil atau teritorial daerah tertentu. Kiblat pembangunan yang berwajah keadilan sosial dan keadilan teritorial daerah merupakan landasan integral dalam menumbuhkembangkan solidaritas nasional, sehingga keutuhan negara bangsa menjadi urgen untuk dipertahankan.

Dalam arti, penataan kembali “pembauran” sosial politik, ekonomi dan sosial budaya menjadi krusial sebagai modal dasar pembangunan. Karenanya jauh-jauh hari DR. Soejatmiko telah mengingatkan kita bahwa, manusia Indonesia juga memerlukan kepekaan terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial, solidaritas nasional dan yang meliputi ummat manusia seluruhnya, termasuk golongan-golongan yang lemah dan miskin dan generasi-generasi yang akan datang.

Dengan demikian, sangat relevan mempertanyakan kembali, kemanakah energi kolektif bangsa ini, sehingga persoalan yang menimpa negara bangsa ini masih belum terselesaikan? Ataukah memang enegri-energi tersebut dihambur-hamburkan untuk saling sikut menyalahkan antar elit politik dan menyelamatkan kepentingan kelompoknya masing-masing, sehingga kepentingan negara bangsa yang dibangun dengan politik keadilan dan pemerataan untuk mewujudkan solidaritas sosial dan nasional tak kunjung datang? Entahlah!

(dimuat di Harian Bandung Ekspres, Sabtu, 24 September 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun