Pasangan muda ini mengurangi kecepatan mobilnya, mereka berdua melihati pasangan kakek-nenek yang sedang makan di gubuk tadi. Suami berkata: "Dik, lihat kakek-nenek itu, alangkah bahagianya mereka berdua". "Iya mas", kata si Isteri, "mereka seusia itu masih bisa bekerja dan hidup bersama". Di saat yang sama, kekek-nenek ini sambil makan juga melihat pasangan muda tadi yang sedang mengendarai mobil. Kakek berkata: "Nek, lihat mereka! masih muda, ganteng, cantik, kemana-mana naik mobil, alangkah bahagianya mereka". Nenek menimpali: "Iya..ya kek, kita sejak dulu seperti ini terus hmmmm"
 Apa yang dapat kita petik dari sepenggal cerita di atas? Pasangan muda melihat kakek nenek seperti itu mereka berkesimpulan bahagia. Begitu juga kakek nenek melihat pasangan muda itu adalah orang yang bahagia. Ternyata, terkadang kebahagiaan itu muncul dari sudut pandang orang lain. Kita sendiri yang menjalani hidup tidak merasakan kebahagiaan itu.Â
Kalau begitu bahagia itu urusan perasaan masing-masing orang, kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi dan penampakan dahir saja. Orang lain mungkin mengatakan hidup saya adalah orang yang bahagia, begitu juga saya melihat orang lain yang paling bahagia. Padahal di dalam menjalani kehidupan sama-sama merasakan pahitnya perjalanan kehidupan.
 Ada resep kebahagiaan yang sempurna dari Al-Ghazali. Menurutnya kebahagiaan sempurna itu bisa diraih jika kita bisa menyelaraskan amarah, syahwat dan ilmu. Jika amarah meningkat akan melahirkan sifat menyerang dan membunuh, jika berkurang akan memunculkan sikap kurang semangat. Begitu juga syahwat, jika meningkat akan menghasilkan sifat kefasikan dan kejahatan, jika menurun akan menimbulkan sifat kelemahan. Keduanya harus seimbang, jika seimbang akan melahirkan sifat sabar, berani, bijaksana, qanaah dan kehormatan.  Tentu untuk menyeimbangkan keduanya harus di dasari potensi ilmu.
 Keseimbangan ketiganya akan melahirkan karakter baik dalam diri seseorang. Budi pekerti yang baik inilah merupakan tangga kebahagiaan. Sedangkan budi pekerti yang buruk akan menghilangkan kebahagiaan. Menurut Al-Ghazali karakter dalam diri manusia itu akan mencerminkan empat hal, yaitu: setan, binatang ternak, binatang buas dan malaikat. Karakter setan seperti menipu, rekayasa, curang dan lain-lain. karakter binatang ternak seperti makan, minum, tidur dan kawin. Karakter binatang buas seperti membunuh dan permusuhan. Sementara karakter malaikat seperti kasih sayang, pengertian, dan kebajikan.
 Dengan potensi ilmu, manusia bisa menyingkap kebodohannya. Oleh karanya nafsu yang isinya syahwat dan amarah harus dikendalikan oleh akal sebagai pemilik ilmu pengetahuan. Pertimbangannya terletak pada akal, jika akal sudah bisa menimbang maka manusia akan mempunyai akhlak yang mulia. Akhlak mulia inilah potensi malaikat yang ada pada diri manusia. Potensi inilah yang akan membawa manusia menemukan kebahagiaan. Begitu sebaliknya ketika manusia hanya bisa menjadi pelayan syahwat dan amarah serta menuruti setan yang menyetir nafsunya, ia akan menjadi manusia yang mempunyai karakter tercela. Karakter tercela inilah yang akan menghancurkan kebahagiaan seseorang.
 Alhasil, kebahagiaan sempurna sebenarnya terletak pada akhlakul karimah. Orang yang berakhlak hidupnya akan seimbang. Karena ia dituntun oleh ilmu yang dimilikinya. Disinilah peranan ilmu sangat penting dalam kehidupan. Jangan sampai ilmu yang sudah kita pelajari justru menjerumuskan kita ke dalam lembah kemaksiatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H