Mohon tunggu...
MUSHOFA
MUSHOFA Mohon Tunggu... Guru - KHODIM PP. DAARUL ISHLAH AS-SYAFI'IYAH TANAH BUMBU KALSEL

Hobby Baca Buku-Buku Islami Klasik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Wali

12 Desember 2022   05:00 Diperbarui: 12 Desember 2022   07:07 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

W A L I

Imam Al-Qusyairi mengutip penjelasan Ustadz Syeikh bahwa kata "wali" mempunyai dua pengertian:

1. Wali berarti orang yang dicintai dan yang dilindungi Allah Swt. Hal ini disandarkan pada Q.S. Al-A'raf ayat 196.

2. Wali berarti orang yang sangat mencintai Allah. Ia selalu beribadah dan taat kepadaNya. Ibdahnya istiqamah tanpa diselingi perbuatan maksiat.

Menurut Al-Qusyairi kedua sifat ini harus dimiliki oleh seorang wali. Sebab syarat wali adalah terpelihara sebagaimana nabi yang juga terlindungi dari kesalahan. Karena bagi Al-Qusyairi jika ada wali yang bertentangan dengan syari'at adalah TERTIPU. (Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah: Mesir, Al-Maktabah At-Taufiqiyah, 2015, hal. 399).

Diceritakan Abu Yazid Al-Busthami pernah datang kepada seorang yang dikenal WALI. Ketika sampai ke masjidnya, ia duduk menunggu. Kemudian orang yang katanya wali keluar dari rumahnya dan berdahak di dalam masjid. Seketika itu Abu Yazid langsung pergi dan berkata "orang itu tidak menjaga tatakrama syariat, bagaimana dia bisa dipercaya tentang rahasia-rahasia kebenaran".

Tanda tanda wali itu ada tiga:

1. Dia hanya sibuk dengan Allah

2. Semua urusannya dilarikan kepada Allah

3. Tujuannya hanya Allah

(Bughyatul Adzkiya', hal. 24)

Kemudian apakah seorang wali boleh memperlihatkan dirinya kalau dia adalah wali? Dalam hal ini ulama' berbeda pandangan. Dikatakan tidak boleh, karena wali itu selalu melihat dirinya dengan rendah hati, sebab jika terlihat sedikit saja keramatnya, dia khawatir hal itu akan menipu dirinya. Sebagaian ulama' berpendapat boleh seorang wali menunjukkan bahwa dirinya wali.

Kemudian bagaimana dengan masalah keramah yang ada pada diri wali? Dalam hal ini Al-Kalabadzi berpandangan bahwa ulama' sepakat atas ketetapan sebuah karomah pada seorang wali. (Atta'rif li Madzhabi ahli Tasawuf, hal. 66). Adapun masalah karomah itu boleh ditunjukkan atau tidak, ulama' berbeda pendapat.

Dalam kajian tasawuf sebenarnya mu'jizat dan karomah itu sama. Yaitu sama-sama "Amrun khoriqun lil adah" (artinya perkara yang berbeda dengan kebiasaan). Perbedaan antara mu'jizat dan karomah itu pada pengakuan yang membawanya. Jika karomah itu tampak pada seorang mukmin yang solih yang tidak bersamaan dengan pengakuan manjadi nabi/rasul. Sementara mukjizat disertai dengan pengakuan menjadi nabi/rasul. (Bughyatul Adzkiya', hal. 24).

Ini adalah masalah dasar. Sehingga dalam pandangan Al-Kalbadzi ada dua istilah yaitu "Nabiyyun dan Mutanabbiyyun". Kalau Nabi itu pasti benar, jika orang yang mengaku-ngaku nabi itu bohong. Karena keduanya memang mirip sekali. Sebab kerasulan sudah berakhir dengan diutusnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Sehingga jika sekarang ada orang yang megaku nabi sekalipun tanpak darinya sebuah karomah itu tetep bohong. Wali yang benar adalah yang tidak mengaku dirinya Nabi. (Atta'rif li madzhabi ahli tasawuf, hal. 67)

Sebenarnya masalah kewalian ini tetap menjadi rahasia Allah Swt. Manusia tidak bisa seenaknya klaim sana klaim sini tatang kewalian. Yang penting kita itu beramal sholih kepada Allah dan kepada sesama. Meninggalkan maksiat dan tidak menyakiti lainnya. Wis gitu aja sudah cukup untuk daftar menjadi kekasihNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun