BENARKAH R.A. KARTINI ADALAH PELOPOR EMANSIPASI KAUM WANITA INDONESIA???
RA Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April yang dianggap sebagai tokoh nasional yang getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Wanita, pria bahkan waria pun meyakini emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat RA Kartini.
I mage Kartini sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita Indonesia perlu diposisikan secara proporsional, objektif dan multi dimensional. Opini publik dalam memahami aspek perjuangan kemajuan kaum wanita di Indonesia, cenderung seolah identik dengan sosok perjuangan Kartini. Tragisnya, model gerakan emansipasi wanita di Indonesia terbangun dalam proses berfikir rivalitas antara pria dengan wanita yang saling berhadapan. Tak ayal lagi gendereng perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh.
Kartini lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 , wafat pada tanggal 17 September 1904. Kartini dikisahkan tentang idenya untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat merendahkan martabat perempuan. Sejak itulah merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Negara Republik Indonesia.
Kalau pemikiran emansipasi dalam rangka penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Di zaman Majapahit yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.
Sosok perempuan lain, sebagai panutan Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat Gresik) yang wafat yaitu tahun 1028 M
Di kerajaan Kalingga (Holing/Keling), masa keemasannya zaman “Ratu Sima”, yang berkuasa pada abad VII M. Menurut sejarah, rakyat sangat merasakan kemakmuran dan keadilan. Pembangunan gapura penerang disetiap persimpangan jalan yang bertatahkan emas tanpa ada yang berniat apalagi nekat melakukan pencurian. Begitu tegas dan kerasnya Ratu Sima menegakkan hukum, menimbulkan rasa penasaran Raja Ta- Che dengan mengirim mata-mata untuk membuktikan kebenaran berita tentang ketegasan Ratu Sima. Mata-mata tersebut meletakkan kantong emas di pinggir jalan dekat dengan pasar. Ternyata kurang lebih tiga tahun tidak ada yang berani menyentuh atau mengambilnya.
Dari paparan di atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral dalam masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap zaman. Hampir setiap wilayah di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan atau setidaknya nilai tradisi yang mendudukkan perempuan dalam posisi sentral.
Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Perempuan mempunyai kedudukan determinan dari pada laki-laki. Mulai dari soal pewarisan hingga berbagai macam permasalahan dalam pernikahan dan perceraian, semuanya hanya terfokus pada perempuan sebagai pemegang hak. Kaum lelaki d hanya berkedudukan sebagai sub ordinat atas dominasi perempuan. Fenomena tersebut tentu sangat jauh dari alam kehidupan Kartini dengan emansipasinya.
Tokoh perempuan lain di nusantara yang sempat mengukir prestasi spektakuler sebagai agen pembaharuan,t antara lain Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Muthia dua srikandi dari Nanggroe Aceh Darussalam yang tak kenal menyerah untuk mengusir Belanda.
Di Sulawesi Selatan, sudah lama terjadi jauh sebelum Kartini. Putri Ta’dampali dari istana kerajaan Luwu yang dibuang ke Wajo karena penyakit lepra. Ditempat pembuangannya ia sembuh dengan jilatan seekor kerbau. Putri Ta’dampali sukses membuat daerah Wajo menjadi kerajaan besar.
Fakta sejarah tersebut, jauh sebelum Kartini, kaum wanita sesungguhnya telah tampil sejajarn dengan kaum pria, bahkan telah menunjukkan kemampuannya dalam mengambil peran sosialnya jauh melebihi peran Kartini. Tapi mengapa nama mereka, dengan prestasi luar biasanya tenggelam dengan kepeloporan Kartini? Bahkan seolah Para wanita sebelum Kartini tersebut dianggap tak ada apa-apanya. Mengapa???
Ketokohan Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia mungkin terjadi akibat propaganda penjajah Belanda. Kesimpulan ini dapat ditarik dari korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan, sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat perjuangan bangsa Indonesia. Ditengarai juga sebagai ajang Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda.
Patut diduga penempatan Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita Indonesia ternyata sarat dengan kepentingan politik dan menapikkan silsilah perjuangan perempuan yang jauh lebih prestius sebelum masanya.
Ternyata Penokohan R.A Kartini Tidak Lepas dari Peran Belanda
Posted by: admin Posted date: 8:44 AM / comment : 0
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini:
“Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).