Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku Ingin Memelukmu, dan Ingin Memelukmu Lagi

6 Desember 2011   00:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:47 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Kawan yang kukasihi,

Aku sangat ingat akan pengakuanmu, dan detil peristiwa itu aku masih dapat dengan sangat jelas menggambarkannya.

Dari luar kota kamu datang ke rumahku, hanya untuk menyampaikan kata-kata ini. Saya tidak tahu kenapa aku yang dipilih untuk mendengarnya.

Waktu itu matahari senja sudah mulai memasuki peraduannya, dan di malam itu kamu hadir di rumahku. Aku lihat wajahmu sunggulah lesu, ya kamu sangat lelah di dalam menanggung beban yang ada.

Tidak banyak waktu, akhirnya kamu mengucapkan kata-kata itu, meskipun aku melihat di wajahmu antara kemauan dan keengganan berpadu menjadi satu, dan akhirnya ketegangan sangat terasa di wajahmu.

Akhirnya kata yang ingin kamu ucapkan itu engkau nyatakan juga, dengan wajah lesu dan dengan bibir kelu, kata-kata itu kamu ucapkan dengan penuh penyesalan, “Aku telah berdosa.”

Kata-kata selanjutnya hanyalah merupakan sebuah keterangan darikata penting itu.

Saya mendengarnya dan saya tidak siap dengan kata-kata itu.

Saya kecewa dan saya marah, kenapa engkau melakukan hal itu, bukankah sudah sering aku katakan. Jangan lakukan hal itu. Saya kehilangan perspektif akan pengakuan itu, saya kehilangan kata-kata utama yang ingin kamu sampaikan, tetapi justru saya peduli dengan semua keterangan kejatuhanmu. Semua yang tidak bisa diulang, diubah atau dihilangkan, kecuali hanya diterima dengan penerimaan tanpa syarat.

Saya meledak dengan semua pertanyaan menyelidik untuk mengorek luka-luka yang bahkan dia sendiri tidak ingin dia lihat.

Kamu akhirnya diam, dan saya pun juga diam. Di ruangan itu, kamu dan aku berdiam cukup lama dan tidak berkata-kata.

Tetapi syukur, akhirnya aku sadar, bahwa kata itu kamu sampaikan kepadaku bukan supaya mendapat penghakiman dariku. Tetapi kata-kata itu kamu katakan sebagai ungkapan bahwa kamu mempercayaiku untuk berjuang mengatasi kejatuhanmu. Kamu ingin aku mengawanimu.

Kawan, maafkanku sikapku yang demikian.

Ya, aku ingin mengawanimu. Aku sangat sedih dengan apa yang kamu alami, tetapi saya ingin menemani mu melewati saat berat ini.

Sejujurnya, engkau sangat berani dan berbesar hati mengatakan hal itu, Kawan. Kejujuran dan keterbukaanmu membuat engkau mampu kuat melewati saat-saat gelap yang kamu lalui. Aku sendiri takut untuk mengungkapkan kata-kata pengakuan itu kepada para sahabatku, bahkan aku lebih suka untuk menyembunyikan setiap borok hidupku daripada membukanya supaya diterangi kebenaran.

Terima kasih untuk pengakuanmu, Kawanku.

Dan pengakuanmu itu cukup. Sebuah catatan yang indah telah ditorehkan di dalam kekekalan ketika engkau mengatakannya.

Sebuah bisikan lembut akhirnya menyadarkan aku, “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskanNya, dan sumbu yang pudar menyala tidak dipadamkanNya”.

Kata-kata itu benar.

Engkau saat ini sebenarnya tidak membutuhkan segepok perintah, nasihat atau semua syariat yang akan mematahkanmu. Engkau hanya membutuhkan sebuah pelukan lembut yang menyentosakanmu. Dan justru engkau baru mengawali langkah untuk hidup di dalam kebenaran, ya karena pengakuanmu itu. Engkau tidak membutuhkan penghakiman dan hujatan, tetapi engkau hanya membutuhkan penerimaan tanpa syarat atas dirimu yang hancur.

Aku ingin memelukmu, dan aku memelukmu.

Hanya itu yang terbaik yang bisa kuberikan kepadamu, lupakanlah kata-kataku yang lain, janganlah kamu ingat-ingat semua kata penghakimanmu bahkan nasihat yang terbaik dari ku pun. Aku hanya ingin mengungkapkan satu kata, “ Aku mengasihimu”.

Aku ingin memelukmu dan bersama-sama merasakan kesusahan hatimu, biarlah degup jantungmu itu juga menggetarkan dadaku supaya hatiku juga ikut merasakan kedukaan yang kamu alami. Aku ingin ikut merasakan semua dukacitamu, supaya semua perkabunganmu diganti dengan sukacita.

Aku ingin memelukmu, dan ingin memelukmu lagi.

***

Kawan, ingatan akan peristiwa itu sangatlah hidup.

Saat ini aku tiba-tiba teringat kembali akan saat-saat itu, ketika di di dalam perjalanan hidup kita banyak sekali kedukaan yang kita jumpai, bukankah aku dan engkau ingin juga kembali menghadirkan sukacita yang telah kita berdua alami pada orang lain.

Ketika mengingat kembali peristiwa waktu itu, aku menyadari betapa kekuatan anugrahatas segala ketidaklayakan kita justru yang membangkitkan jiwa kita untuk maju. Keyakinan itu adalah kekuatan kita di dalam menjalani hidup ini.

Kawan, saat ini telah cukup lama kita berpisah sejak peristiwa itu. Aku tidak bisa memelukmu, tetapi bukankah pelukanNya yang kuat itu selalu tersedia bagi kita di dalam setiap perjalanan hidup kita.

Bukankah Sang Sabda telah berfirman, “”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan ke­pa­damu. Pikullah kuk yang Kupasang dan bela­jarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.”

Selamat melanjutkan perjalanan, Kawan.

Salam Taklim

Kang Samad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun