Mohon tunggu...
kangsamad
kangsamad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Chairil Anwar, Isa dan Doa

8 Oktober 2009   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:37 8921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah seorang yang menjadi idola saya di dalam berpuisi adalah Chairil Anwar. Puisi-puisinya membius saya di dalam kemudaan saya. Puisinya yang bertajuk “AKU” adalah puisi pertama yang saya hafalkan ketika menginjaksekolah menengah. Bahasa yang dipakai sangat kuat, menantang, heroik dan bahkan keras kepala. Puisi-puisi Chairil Anwar sanga kuat pengaruhnya di dalam genre bersastra pada masa itu, sehingga lahirlah sebuah genre sastra baru Indonesia, Angkatan 45. Di dalam singkatnya berkarya, Chairil Anwar meninggal pada usia 27 tahun, Chairil Anwar meninggalkan puisi-puisi yang menjadi master piece di dalam kancah kesusastraan Indonesia.

Kita banyak mengenalkarya-karyanya yang bernuansa perlawanan atas kemapanan (AKU) dan perjuangan, seperti “DIPONEGORO” dan “KARAWANG BEKASI”.Namun kita bisa menjejak puisi-puisinya yang lain yang bertema religi, seperti DI MESJID, ISA, DOA maupun DERAI-DERAI CEMARA, yang mempunyai kedalaman makna yang sangat indah.

Salah satunya adalah sajak berikut ini:

ISA

(kepada nasrani sejati)

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah

rubuh
patah

mendampar tanya: aku salah?

kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah

terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segera

mengatup luka

aku bersuka

itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah.

12 November 1943

(dikutip dari kumpulanDeru Campur Debu, 2000)

Ketika membaca puisi tersebut,di dalam hati, saya berkata bahwa Chairil Anwar dengan sangat dalam memahami karya Isa Almasih Sang Junjungan di kayu salib. Tetap dengan ekspresi yang kuat, tegas dan menawan, puisi tersebut seolah mengajak saya untuk kembali kepada teks kitab suci yang menulis nubuatan tentang Isa Almasih oleh Nabi Yesaya berabad-abad sebelum kelahiran Isa Almasih.

“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita,

dia diremukkan oleh karena kejahatan kita;

ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya,

dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”

(Yesaya 52:6)

Membaca puisi Isa, saya terpukau, betapa dia dengan sangat kuat memahami apa yang kami percayai tentang Isa Almasih. Sang Firman yang datang menjadi manusia dan menderita, disalibkan, mati dan bangkit bagi keselamatan manusia.

Ternyata ketika membaca tulisan Dr. Andar Ismail, di dalam buku Seri Selamat nya, saya menemukan suatu kebetulan yang lain. Dikisahkan pada waktu itu sebenarnya Chairil Anwar ingin mengutil dari sebuah toko buku sebuah buku karya filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche,Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None tetapi ternyata yang terambil adalah sebuah Kitab Suci Injil.

Saya menduga dia terpesona dengan buku barunya tersebut, sehingga lahirlah puisi ini.

Bagi Si Binatang Jalang, mungkin lebih tepat ketika dia membaca karangan Nietzsche tersebut. Dengan jargonnya yang terkenal God is Dead, Si Binatang Jalang ini akan semakin terfasilitasi pemberontakannya. Tetapi bagi Sang Maha Tahu, pilihan Chairil Anwar (yang salah ambil buku tersebut) adalah pilihan yang lebih tepat baginya.

Kisah ini juga seperti mengisahkan kekalahan Chairil Anwar di dalam tantangannya kepada Tuhan. Ketika di dalam puisi nya DI MESJID (29 Mei 1943), dia dengan segala ke-AKU-annya, berpuisi melawan Tuhan : Kuseru saja Dia/ sehingga datang juga/ Kamipun bermuka-muka/ seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/ Segala daya memadamkannya/ Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda/ Ini ruang/ gelanggang kami berperang/ Binasa membinasa/ satu menista lain gila. (dikutip dari kumpulanKerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus,  2000, hlm. 29)  

Ceritanya belum selesai, puisi yang ditulis sehari setelah karyanya yang bertajuk tentang ISA, adalah sebuah puisi tentang penyerahan diri kepada Allah. Apakah sebuah kebetulan, ketika dia terpukau terhadap karya Isa Almasih di kayu salib, kemudia dia melihat siapa dirinya, sehingga lahir puisi ini?

DOA

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

cayamu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943
(dikutip dari kumpulanDeru Campur Debu, 2000)

Dengan segala kehancuran hati Chairil Anwar datang di dalam doa kepada Tuhan. Sekali lagi mengingatkanku akan sabda Isa :

“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.”

(Matius 5:2-3)

Lihatlah, Aku berdiri di depan pintu dan mengetuk. Jikalau ada orang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, maka Aku akan masuk mendapatkannya, …

(Wahyu 3:20a)

Siapa yang tahu rahasia hati manusia. Sejatinya kita tidak akan pernah tahu. Kita hanya bisa meraba-raba dan menduga-duga saja. Saya tidak perlu berdebat tentang keberagamaan Chairil Anwar, dan yang pasti pengalaman Chairil Anwar tersebut tidak bisa diambil dari padanya, itu sudah menjadi miliknya. Dan hanya dia dan Tuhannya yang tahu.

Sampai puisinya yang terakhir DERAI-DERAI CEMARA (1949), dia berucap, “ cemaramenderai sampai jauh/  terasa hari akan jadi malam/ ada beberapa dahan di tingkap merapuh/  dipukul angin yang terpendam// aku sekarang orangnya bisa tahan/ sudah beberapa waktu bukan kanak lagi/  tapi dulu memang ada suatu bahan/  yang bukan dasar perhitungan kini//  hidup hanya menunda kekalahan/ tambah terasing/ dari cinta sekolah rendah/  dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah. Sampai Chairil Anwar menyerah, sejatinya masih ada misteri, dan Chairil Anwar menyadarinya dan menyerah pada misteri tersebut.

Nun jauh di dalam lubuk hati manusia tersimpan kerinduan yang kekal akan yang sejati. Perjumpaan dengan Tuhan adalah sebuah relasi yang intim. Keterbukan dan kejujuran siapa dirinya dihadapan Tuhannya menjadi dasar yang sah untuk memulai sebuah relasi yang sejati. Chairil Anwar menyadari dirinya sebagai seorang musafir di dalam kefanaan dunia ini, dan tahu tempat sejatinya dia melabuhkan hidupnya meskipun banyak misteri yang masih menjadi pertanyaannya. Minimal Chairil Anwar telah menunjukkan hal itu di dalam puisi-puisinya.

“Kemuliaan Allah adalah menyembunyikan segala sesuatu” – Berbahagialah mereka yang memperoleh anugrah Allah untuk mencicipi kebenaranNya yang tersembunyi.

Salam Taklim

Kang Samad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun