"Singkat cerita, pagi itu semua anggota Tim langsung melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh karismatik, universitas, dan lembaga pendidikan di Tarim, serta berdialog langsung dengan WNI. Buah manis bisa dipetik segera. Pada hari kedua keberadaan di Tarim jumlah pendaftar evakuasi semakin bertambah"
___diambil dari artikel "One Way Ticket to Yemen"
Mengevakuasi 1000 orang lebih dalam waktu 12 hari, bukanlah perkara mudah. Dalam kondisi tak biasa, hanya ada satu alternatif transportasi, yaitu jalur darat dari Hadramaut ke Oman dengan jarak tempuh antara 24-30 jam. Mengatur begitu banyak orang, di tengah terik matahari yang menyengat, keringat kami terkuras lebih dari hari-hari biasa. Alhamdulillah, bantuan relawan PPI Hadramaut membuat misi kami terlaksana dengan baik.Â
Di Hadramaut, wilayah bagian Timur Yaman, ada sekitar 2000 WNI. Mayoritas mereka adalah para santri yang sedang mendulang ilmu di negeri para wali itu. Ada sekitar 1500 di Tarim dan sekitar 500 orang di Mukalla.Â
Yaman, adalah negara "bersarung". Hampir tidak ditemukan lelaki memakai celana. Yang tampak di manapun adalah orang-orang yang memakai sarung atau jubah.Â
Dari sinilah cerita "sarung" kami dimulai.Â
Informasi yang didapatkan oleh Tim kami saat itu, para santri "pekewuh" dengan para syaikh-nya untuk meminta izin dievakuasi. Dalam kamus pesantren, santri dianggap tidak punya tata krama jika berani lancang kepada syaikhnya. Dari sekitar 2000 santri itu, hanya ada 60 orang yang mendaftar untuk dievakuasi pada saat Tim kami sampai di Tarim, bagian Timur Yaman.Â
Tugas kami adalah menyampaikan pesan Pemerintah RI kepada para pemangku kepentingan di sekitar Hadramaut. Pasalnya, perang terus bergejolak dan orang tua para santri khawatir anaknya terkena imbas perang. Pemerintah mengambil kebijakan bahwa WNI harus dievakuasi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi dampak jika perang terus berlanjut dalam skala yang lebih besar dan massif.Â
Mengapa diplomat yang diutus? Tentu saja karena lingkup tugasnya membutuhkan keahlian para diplomat dan wilayah Timur Yaman saat itu masih belum terkena imbas secara massif. Jika keadaan sudah memburuk, tentu bukan para diplomat yang diberikan tugas. Ringkasnya, tugas kami masih dalam kerangka antisipasi.Â
Ini Yaman Bung!!! Negara bersarung. Semua santri yang kami temui memakai sarung. Mereka adalah para santri dari pondok-pondok pesantren tradisional di Indonesia. Sarung adalah pakaian, identitas dan sekaligus kepribadiannya. Sarung juga adalah simbol kesederhanaan, keluguan, dan jauh dari pamrih.Â
Melihat kondisi yang demikian, kami yang diplomat dan polisi, sudah tidak lagi berpikir menjalankan tugas secara "business as usual" dengan dengan seragam resmi dan cara-acara yang diajarkan dalam sekolah dinas. Biasanya diplomat memakai jas dan polisi berseragam saat menjalankan tugas. Hari itu, kami totally berubah.
Seragam resmi kami adalah sarung atau sorban dan kepribadian kami adalah kepribadian "bocah-bocah" sarungan. Tugas kami saat itupun perlu dibalut dengan "sarung". Kami yang berasal dari kaum sarungan, yang sudah cukup lama meninggalkan sarung dalam keseharian tugas, kembali lagi mengenang masa-masa sarungan saat di pesantren dulu. Dengan itu, kami dapat berbaur dengan para santri  bahkan merasa sebagai kakak tuanya. Kamipun melihat mereka memperoleh "trust" dari kami. Ini keberhasilan pertama kami. Melakukan "diplomasi publik".Â
Di sisi lain, kami juga perlu melakukan diplomasi keluar, bernegosiasi dengan para syaikh agar mereka mau memberikan izin kepada para santrinya untuk dievakuasi.Â
Kami, diplomat dan polisi mengenakan sarung dan surban, memakai bahasa mereka dalam bernegosiasi. Kami mencium tangan para syaikh, menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi, dan tentu dengan adab serta tata krama ala pesantren. Sama sekali tidak ada kesan bahwa kami adalah diplomat dan polisi.Â
Dalam beberapa pertemuan dengan para syaikh itu, kami menjelaskan bahwa di tanah air sana orang tua para santri khawatir atas keselamatan anak-naknya jika imbas perang akan meluas.Â
Dengan nada yang santun namun meyakinkan, ketua Tim kami menjelaskan bahwa kami diutus secara resmi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengajak para santri kembali ke tanah air.
Gayungpun bersambut. Menghormati tamu ada hal penting dalam agama Islam. Pemohonan kami untuk melakukan evakuasi mendapatkan restu dari para syaikh. Secara umum para syaikh mengatakan, "jika Pemerintah Indonesia meminta untuk mengevakuasi warga negaranya, maka tak ada alasan bagi kami untuk menolaknya", demikian jawaban yang kami terima. Selain itu para syaikh juga menambahkan bahwa para santri yang tidak ikut dalam evakuasi, maka mereka akan memberikan rasa aman dan menanggapnya seperti anaknya sendiri.
Kamipun merasa lega dengan respons positif itu. Tugas bernegosiasi telah kami tuniakan dengan baik. Kepentingan Pemerintah Indonesia mendapatkan dukungan.
Berbekal izin dari para syaikh itu, kami meminta izin kepada para syaikh dari berbagai pondok pesantren yang menampung para santri dari Indonesia agar mengizinkan satrinya untuk kami ajak berdialog. Poin-poin yang kami sampaikan dalam dialog tersebut di antaranya adalah bahwa Pemri berkewajiban untuk melindungi warganya di daerah konflik maupun daerah yang berpotensi konflik. Karenanya Tim mengajak seluruh WNI yang ada di Yaman untuk dapat segera mengungsi. Seluruh biaya evakuasi akan menjadi beban Pemri.
Kami juga menyampaikan bahwa evakuasi ini bersifat imbauan. Bagi mereka yang memutuskan untuk menetap di Yaman, maka konsekuensi yang timbul kiranya menjadi tanggung jawab masing-masing. Pemerintah Indonesia tetap akan memberikan perhatian kepada semua warganya, baik yang bersedia dievakuasi maupun yang memilih tinggal di Yaman.
Tim kami juga menekankan agar para para santri terus memantau keadaan yang berkembang dan menyikapinya dengan bijak. Beberapa daerah yang sebelumnya diprediksi tidak terimbas konflik pada kenyataannya dalam waktu cukup singkat menjadi memanas dan situasi tidak menentu, sebagaimana yang terjadi di wilayah Aden dan Mukalla.
Akhirnya, upaya yang  keras itupun berbuah manis. Jumlah pendaftar evakuasi semakin banyak. Ditambah lagi, di Tarim terjadi kelangkaan BBM. Hal ini disebabkan karena terhambatnya suplai ke wilayahtersebut  dari jalur Mukalla. Sebagaimana diketahui, kondisi Mukalla, yang merupakan ibukota Hadramaut, belum sepenuhnya normal, sehingga berpengaruh pada wilayah-wilayah  di sekitarnya.Â
Alhamdulillah, selama 12 hari Tim kami berada di Hadramaut (4-15 April 2015), lebih dari 1000 orang telah dievakuasi.
                                                                               -=TAMAT=-
Mohammad Nur Salim
Diplomat RI pernah di bertugas di KBRI Teheran Iran (2007-2008) dan KBRI Kairo Mesir (2011-2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H