Menyalahkan orang lain dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk merasakan empati. Ketika seseorang menghindari tanggung jawab, mereka juga menghindari komunikasi yang jujur tentang perasaan mereka dan tidak mendengarkan perasaan orang lain. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya pemahaman dan hubungan yang tidak harmonis dengan orang lain.
Kebiasaan menyalahkan orang lain, dapat merusak hubungan sosial. Ketika seseorang sering menyalahkan orang lain, akan menciptakan lingkungan di mana komunikasi yang sehat tidak dapat berkembang dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman dan ketidakpercayaan di antara individu, yang pada akhirnya dapat merusak hubungan pribadi dan sosial.
Selain itu, budaya menyalahkan orang lain dapat menular ke pihak lain. Ketika seseorang terbiasa menyalahkan orang di sekitarnya, maka sangat mungkin mulai diadopsi sikap serupa oleh pihak lain. Ini menciptakan lingkungan di mana tanggung jawab pribadi diabaikan, dan masalah tidak diselesaikan secara konstruktif serta ada kecenderungan menjadi kebiasaan dalam suatu komunitas. Hal ini terjadi, karena ada kecederungan kebiasaan yang tidak baik dan dibiarkan, menyebabkan pihak lain akan mengadopsi kebiasaan tersebut.
Menyalahkan orang lain dapat mengembangkan mentalitas korban, di mana individu merasa selalu menjadi korban dari situasi dan orang lain. Ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengambil tindakan positif dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri, yang dapat memicu perasaan frustrasi dan ketidakpuasan yang berkepanjangan. Bahkan, orang lain yang disalahkan, ada kecenderungan apriori dan memiliki mental rendah diri serta menurunnya sifat simpati dan empati.
Untuk menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan orang lain, kita dapat melakukan beberapa upaya antara lain :
Belajar berprasangka baik
Berprasangka baik, atau "husnuzan", adalah sikap berpikir positif dan memberikan penilaian yang baik terhadap orang lain, serta terhadap berbagai keadaan yang terjadi. Ini adalah bagian penting dari etika dalam Islam dan memiliki banyak manfaat baik secara spiritual maupun sosial.
Manfaat berprasangka baik, antara lain menciptakan kedamaian hati, menjaga hubungan sosial dan menghindari kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan dengan orang lain. Selain itu, menghindari dosa, karena berprasangka buruk bisa membawa kepada fitnah atau ghibah (menggunjing). Dengan berprasangka baik, mendorong untuk memahami situasi dan kondisi orang lain sebelum menilai mereka, sehingga meningkatkan empati dan kepedulian sosial.
Dalam suatu riwayat, Rasululah memberikan tuntunan untuk belajar berprasangka baik, sebagaimana dalam hadist "Dari 'Aisyah Ra., ada suatu kaum yang berkata, "Wahai Rasulullah, ada suatu kaum membawa daging kepada kami dan kami tidak tahu apakah daging tersebut saat disembelih dibacakan bismillah ataukah tidak." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjawab, "Ucapkanlah bismillah lalu makanlah." (HR. Bukhari)
Introspeksi diri jauh lebih penting daripada mengurusi urusan orang lain
Introspeksi diri adalah proses melihat ke dalam diri sendiri, menganalisis tindakan, pikiran, dan perasaan kita dengan tujuan memahami diri sendiri lebih baik, mengidentifikasi kelemahan, dan memperbaikinya. Sedangkan terlalu mengurusi urusan orang lain dapat mengalihkan perhatian kita dari tanggung jawab dan perbaikan diri.
Rasulullah SAW. bersabda: "Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya". (HR. Bukhari)
Untuk itu, orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa lelah. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya.