“Minggu depan. Insya Allah aku akan kembali berangkat ke Tasik,” katanya seraya menghisap rokok kretek, “bagaimana kabar yang lainnya di Gang Suren?”
“Alhamdulillah, sehat wal’afiat,” Mardi menimpali, “kabarnya Karim juga sudah mau lulus S2 sekarang. Do’anya saja, semoga ia dilancarkan semua urusannya.”
Kodir manggut-manggut.
“Bilang sama anakmu,” katanya kemudian, “sekolah yang benar. Jangan lupa juga, gali terus ilmu agama. Karena biar bagaimana pun, si Karim masih memerlukan itu.”
Hari-hari libur memang sering jadi momen yang pas untuk saudara-saudaranya. Mereka tak hanya berkunjung dan berbagi cerita di rumah itu. Kadang mereka juga berbagi cerita mengenai anak-anaknya. Mulai dari pendidikan sampai pola didik yang harus diterapkan untuk anak-anak mereka. Semua diceritakan saudara-saudaranya kepada Kodir. Intinya, Kodir selalu dijadikan panutan oleh saudara-saudaranya dalam berbagai urusan.
***
Garut, Agustus 1972.
Kodir terlihat keluar dari rumahnya yang bercat putih. Setelah melangkah beberapa langkah ke arah pot kuping gajah di luar, ia kembali mendekat ke arah pintu rumah. Kemudian ia menguncinya dengan cukup yakin. Sesekali ia menarik pintu, memastikan kalau pintu sudah benar-benar terkunci.
Anaknya dan anak-anak saudaranya yang lain sudah bergerombol di luar. Begitupun dengan keluarga besarnya yang lain.
Rupa-rupanya hari ini Kodir dan keluarga besarnya hendak pergi ke kota Tasik. Janjinya kepada Mardu minggu lalu kini coba ditepatinya.
Selanjutnya sudah bisa ditebak. Dua mobil 4848 yang akan dinaiki berhenti tepat di hadapan mereka. Tanpa perlu dikomando lagi, keluarga besarnya langsung masuk ke dalam mobil. Menempati tempat duduknya masing-masing.