Secara kebetulan hari itu langit Palestina-Israel terbelah. Semburat jingga memulas terbelahnya langit menjadi serupa keindahan yang tiada tara. Tanah para nabi memang patutlah sekiranya diperlakukan seperti itu oleh alam. Penuh dengan keindahan.
“Aku tak sudi jika kau terperangkap dalam kemuslimahanmu,” seorang perempuan Yahudi membentak putrinya dengan keras, “sungguh, kita mengutuk tindakanmu itu, Adonna.”
“Benar apa kata ibumu,” lelaki di sudut ruangan meminum tehnya sejenak, “ayah tak merestui tindakanmu. Itu benar-benar tak bisa ditoleransi, Adonna.”
Lelaki tersebut nampak lebih tenang dalam menyikapi permasalahan. Sekalipun sorotan matanya menyiratkan kepicikan yang sangat. Ada maksud terselubung dalam ketenangannya tersebut.
***
Perkataan kedua orangtuanya terus terngiang. Namun peristiwa tersebut tak menyurutkan niat Adonna untuk memeluk islam secara kaffah. Suatu malam ia pernah berkata kepada suaminya, seorang muslim keturunan Afro-Amerika:
“Ketahuilah olehmu,” matanya berbinar, “apa yang menyebabkan aku memeluk agama yang hak bukanlah semata karena cintaku terhadapmu. Tidak, tidak karena itu. Jauh sebelum masa seperti ini, bertahun-tahun sebelumnya, aku selalu membaca referensi mengenai hal apa pun yang berkaitan dengan Islam. Kemudian, pertemuanku denganmu, membuat rasa penasaranku terhadap Islam semakin membuncah. Tak lain karena kau selalu mempertontonkan amaliah yang begitu indah. Aku selalu melihat kau menuaikan sholat, puasa, atau apapun itu yang berkaitan dengan ibadahmu.”
Adonna menghentikan perkataannya sejenak. Ia menoleh keluar jendela, dilihatnya tanah Palestina-Israel diliputi kegelapan malam, sesekali suara padang pasir terdengar mendesis ditiup angin malam.
“Aku sadar,” Adonna melanjutkan, “Yudaisme mengajarkanku untuk mencintai Tuhan. Sedari kecil aku telah mengimani bagian itu, mecintai Yahweh tanpa terkecuali. Namun berlarut-larut setelah aku menjalani hidup sebagai seorang Yahudi, aku menyadari kalau hidupku sangatlah terkotak-kotak. Sekalipun aku mengimani dan mencintai Tuhan sepenuhnya. Tetapi, Islam lah yang benar-benar hak untuk itu. Islam bagiku ialah induk dari segala kebenaran yang universal. Di dalamnya aku sama sekali tidak menemukan rasialisme bersarang. Kau tahu, aku telah jatuh cinta terhadap Islam. Melebihi rasa cintaku terhadapmu.” Adonna menunduk malu.
Melihat kejadian itu, suaminya tersenyum manis.