[caption id="attachment_371330" align="aligncenter" width="456" caption="Ilustrasi: googling."][/caption]
Bangunan SD tampak kumuh dan tidak menggairahkan. Terletak sekitar satu kilometer dari pusat kota Garut. Meskipun begitu, pandangan orang mengenai Garut tetaplah sebagai desa. Masih kental dengan budaya dan kearifan lokal. Pun dengan SD ini, suasana pedesaan masih sangat kentara di lingkungan sekitarnya. Di sebelah timur SD, rumah penduduk masih dapat dihitung dengan jari. Luas rumah penduduk masih kalah bersaing dengan luasnya perkebunan dan sawah. Di sebelah barat SD, tumbuh sangat subur bambu-bambu hijau yang menjulang, senantiasa bergoyang apabila bambu-bambu ini tertiup oleh angin. Tepat di depan SD, jalan kecil penghubung kelurahan dan jalan raya melintang dengan elok. Sesekali ojek dan delman lewat di depannya.
“Apa yang akan kau lakukan, Dang. Dari tadi kuperhatikan kau asik sendiri memegang perutmu.”
“Pura-pura tak tahu saja kau ini. Biasa, ke kebun bambu.”
“Sakit perut?”
Ditanya seperti itu, Odang menganggukan kepalanya. Di belakang, Didin yang sebelumnya bertanya, tampak mengikuti. Sadar dengan hal itu, Odang menoleh ke arah Didin.
“Kau mau buang air juga?” tanya Odang.
“Hanya mencari udara segar. Kebun bambu lebih enak dan sejuk di banding ruang kelas.” Ujar Didin seraya menyeringai.
Sudah jadi kebiasaan, anak-anak SD seringkali buang air di kebun bambu. Bukannya tak ada kamar kecil, hanya saja itulah kebiasaan mereka, entah kenapa. Selokan air itu selalu saja mengalir di setiap musim. Di pinggirnya, sawah-sawah tak luput dari pengairan yang dialirkan oleh selokan tersebut. Bila istirahat sekolah dan terik menjelang, anak-anak juga sering mencelupkan kaki mereka di selokan tersebut. Tak ada yang merasa jijik, karena selokan tersebut tampak begitu alami dan bersih. Setiap kotoran dan rumput akan dengan cepat dialirkan ke selokan yang lebih besar. Sehingga selokan di bawah kebun bambu itu tetap saja jernih dan segar.
“Pukul berapa sekarang?” tanya Odang setelah ia buang hajat dan keluar dari selokan. Kepalanya mendongak ke arah Didin yang tengah asik dengan lamunan.
“Paling baru pukul setengah sepuluh,” pandangan Didin datar, menghadap hamparan sawah. “Jangan dulu masuk kelas lah,” lanjutnya.
“Siapa yang mau kembali ke sekolah. Aku sendiri mau cari buah jambu. Mau ikut?” tanya Odang.
Dengan seketika mimik wajah Didin berubah menjadi penuh gairah. Matanya menatap ke arah Odang. Seperti biasa, senyumnya kembali menyeringai.
“Kalau itu sih jangan ditanya lagi,” Didin beranjak dari duduknya, “ya sudah, tunggu apalagi. Ayuk!” lanjutnya dengan nada setengah tak sabar.
“Tunggu anak-anak datang dulu, Din,” ujar Odang, “biar kita bolos rame-rame.” Tangannya sesekali memainkan daun bambu.
Beginilah jadinya jika anak-anak ini sudah sepakat dengan keasyikan mereka. Sekolah pun mereka korbankan. Urusan tas? Biarkan itu di bangku mereka. Karena mereka pikir, itu bukan masalah yang serius. Pun ketika guru marah-marah, mereka akan tetap tenang dan mengunci kupingnya masing-masing. Ya, sudah jadi watak anak desa, rata-rata mereka memang bermental baja dan terkenal bengal.
Sementara itu, dari kejauhan rombongan anak-anak yang lain tampak mendekat ke arah kebun bambu, mendekat ke arah Odang dan Didin. Rupa-rupanya jam istirahat sekolah masih berlangsung, atau mungkin, mereka memang sengaja bolos. Jika kau ingin memanggil gerombolan anak-anak desa ini, sebut saja mereka “Laskar Badung”.
“Oiii,” teriak Odang.
“Oiii,” balas salah satu rombongan.
Selanjutnya entah apa yang terjadi, yang jelas bambu semakin gemulai saja ditiup angin. Diikuti oleh gelombang padi di sawah. Sementara selokan kecil tetap mengalir bersama airnya yang jernih. Anak-anak itu kini berembug di bawah pohon-pohon bambu. Satu sama lain saling menyeringai, seolah sudah saling mengerti apa yang harus mereka lakukan. Kiranya pohon jambu yang tak jauh dari kebun tersebut memang sudah jadi incaran mereka.
***
Jam menunjukan pukul 8 pagi. Suara penggaris kayu terdengar keras menggebrak meja. Jendela usang yang terbuat dari kawat seolah bergetar dibuatnya. Banyak burung pipit berterbangan mendengar suara gebrakan tersebut. Seharusnya sekarang waktu yang tepat untuk merasakan hangatnya pagi, bukan malah sebaliknya, mendengarkan gebrakan yang memekakan telinga.
Namanya Surtini, namun anak-anak biasa memanggil ia dengan sebutan Bu Surti. Elok wajahnya, namun bisa berubah menjadi sangat menakutkan ketika ia sedang marah. Jangan coba-coba main api dengannya, atau jika kau berani, kau bisa saja terbakar api amarahnya.
Guru setengah baya tersebut rupa-rupanya tengah marah besar terhadap anak didiknya. Suasana kelas benar-benar mencekam. Tak ada yang berani bersuara.
“Cepat acungkan tangan! Siapa saja yang membolos di hari kemarin?!” tangannya mengacungkan penggaris kayu, sesekali gerakannya melintang dari sudut ke sudut. Benar-benar seram.