Kabut juga belum mau pergi dari negeri ini. Kalau tak bisa menjadi hutan, Jadilah embun yang menyegarkan tanah ini, tanah ibuku, tanah pertiwi.
27 Februari 2013, pukul 22 : 53
Coretan seminggu lalu rasanya cukup memenuhi angan. Hujan yang terus menghantam tiang pancang, angin yang terus mendekap pohon. Matahari rupanya agak canggung terlihat. Manusia yang digelar saat subuh lalu digulung saat seperempat malam, sehabis Isya.
Entah kurang angan atau memang tak sempat menuang kopi di atas kertas. Minggu-minggu padat dimulai. Anak bersemangat muda berlarian mengejar kabut sampai pintu angin. Berlari dan saling kejar. Beberapa kali berkas jingga menutup siang kami, berebut menutup pintu dengan sang Kabut.
Situ yang menyimpan ribuan cerita, kisah orang-orang besar yang melakukan sesuci brata. Kisah Membrano, Everest atau tentang seorang dokter sparatis yang patrotis. Daya tahan.
Susah bercerita tentang materi, karena alam Lembang begitu saja menutup berat materi.
Penghayatan
Mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Setenang Situ Lembang dalam bersikap, sedingin hening kabut dalam berpikir. Setegas Pinus berhadap dengan angin. Seriuh gelak tawa di arena, lintas tawa tertawa.
Kerendahan hati yang selalu tunduk kepada Tuhan.
Rembulan datang dari balik Kawah Putih, seperti pemilik hati putih yang baik hati. Rembulan yang mengajarkan tentang terang atas gelap.
“ Jangan mengaku manusia, kalau tidak bisa menerangi hati sesamamu di kala gelap”