Membaca salah satu artikel yang dimuat di halaman depan Kompas hari ini (19 April 2010) membuat saya geregetan. Artikel yang saya maksud adalah mengenai Kebijakan Pertanian, Menanam Komoditas Harus Izin Bupati.(http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/19/03484878/). Hal ini mengenai wacana bahwa semua petani di seluruh Indonesia wajib mendaftarkan usaha taninya kepada bupati/wali kota apabila mereka mau menanam komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau, dan sorgum.
Aturan baru yang mewajibkan pendaftaran usaha tani pangan itu telah selesai dibuat Kementerian Pertanian dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan. Menurut saya, kebijakan ini tidak fokus pada penyelesain masalah pertanian di Indonesia yang sebenarnya begitu banyak dialami oleh para petani, seperti mahalnya harga pupuk dan rendahnya harga jual komoditas pertanian. Kebijakan semacam ini, tendensinya tidak jelas, tidak menyelesaikan masalah justru memperumit persoalan para petani.
Okelah, tujuannya mungkin bagus, yaitu untuk mendata potensi pertanian di Indonesia atau tujuan apalah, saya tidak tahu. Kalau mau tahu, ya..tanya saja yang bikin aturan. Jika aturan inipun diterapkan,, saya yakin tidak akan berjalan dengan mulus. Saya membayangkan bagaimana jika para petani mau menanam telo (ketela) saja harus laporan, bakalan ribet urusannya.
Saya sanksi yang bikin aturan kayak gini tahu bagaimana kehidupan para petani yang kebanyakan masih dalam keterbatasan terutama mereka yang tinggal di pedesaan dengan lahan yang dimiliki sangat terbatas. Aturan-aturan yang dibuat pemerintah banyak yang tidak menyentuh substansi permasalahan sama sekali. Ibarat orang pusing, tidak diberi obat..eh malah disodori TTS, disuruh mikir macem-macem, bisa pecah kepalanya. Petani kita itu sudah pada pusing mikirin pupuk, obatan-obatan yang harganya melangit namun harga komoditas pertanian tidak stabil naik-turun kayak rollercoaster, harusnya itu yang lebih dipikirin lagi. Bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan petani, dengan kebijakan yang sekiranya dapat membantu kebutuhan para petani secara riil seperti bantuan bibit, pupuk dan obat-obatan hingga mengawasi pembelian gabah langsung ke petani. Karena banyak yang menikmati kebijakan-kebijakan itu adalah para tengkulak dan distributor yang tidak sejengkalpun memiliki lahan pertanian.
Beginilah, implikasi kalau suatu permasalahan tidak ditangani oleh para ahlinya. Pertanian itu praktek bukan teori, mereka yang bikin aturan hanya tahu teori, tidak mengerti bagaimana beratnya mengolah sawah, bagaimana dag-dig-dugnya menunggu hasil panenan. Saya seorang Auditor, putra dari Bapak-Ibu Guru sekaligus Petani dan saya punya pengalaman bergelut dengan lumpur-lumpur di sawah, dari menyemai padi, mencangkul, memupuk, menyiangi, membantai tikus-tikus yang menjadi hama hingga memanen padi-padi yang mulai menunduk kuning sehingga dikit-dikit tahulah bagaimana kehidupan petani.
Jadi semoga bukan hanya jargon sebagai Negara Agraris saja yang digemborkan, namun petaninya tetap kere, aturan-aturan yang dibuat nggapleki (tidak mutu), bikinannya orang-orang yang sok tahu padahal tak tahu substansi masalah yang dihadapi para petani. Petani butuh bibit, petani butuh pupuk, petani butuh obat-obatan, petani butuh duit, petani tidak butuh formulir untuk menanam apa yang mau ditanam . Terserah, mau dibuat aturan seperti apapun, hendaknya orientasinya agar dapat meningktakan kesejahteraan para petani. Jangan sampai cuma mau menanam ketela saja harus ngisi form untuk bikin pengumuman…….PAK BUPATI, LAPOR SAYA IZIN NANAM TELO !!??………
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H