MENONTON sambil berpikir. Kadang kepengen nonton secara ‘lepas’. Tapi mungkin tak lagi bisa. Ketika nonton film misalnya, pikiran biasanya terbelah ke dalam dua, bahkan beberapa bagian. Jika filmnya bagus—versi saya—apapun jenisnya, biasanya saya berdecak kagum pada kecerdasan para pembuatnya (sutradara, kameraman, tentu, juga pembuat cerita). Lalu mulai memikirkan pesannya. Pikiran lain, adalah pada cara bagaimana pesan disampaikan. Kok bisa ya, dia bikin cerita seperti itu? Begitu biasanya kecamuk pikiran saat atau setelah menonton. Kadang, saya, mungkin juga Anda, menyampaikan kekaguman ini pada yang lain. Teman nonton misalnya.
Yang unik adalah ‘belahan’ pikiran saat nonton film-film yang dibuat dengan sentuhan teknologi dan keterampilan tangan para seniman gambar/ lukis. Film animasi, yang saya maksud. Nah, akhir pekan November ini, saya dan keluarga memilih nonton bersama The Good Dinosaur. Film arahan Peter Son ini keren. Dari info yang saya dapat, desain latar belakang yang terdiri dari lembah dan sungai masih menggunakan teknik lukisan cat air.
Penonton bisa menyaksikan dinasurus, makhluk purba itu, hidup dalam lanskap yang nyata. Pikiran seperti sedang diaduk, antara ‘tahu’ persis bahwa figur-figur di film dibuat dengan teknik animasi, dengan perasaan tidak yakin bahwa latar belakang alamnya, juga buatan. Bukan alam asli yang di-shoot. Karena terasa sangat nyata. Saya merasa melihat figur-figur yang secara teknik animasi tingkat tinggi direka, berada di alam sesungguhnya yang direkam oleh kamera film pada umumnya. Pengetahuan dangkal saya tentang animasi, dalam hal ini menguntungkan: saya lebih bisa merasakan sensasi filmnya. Lalu ketika tahu itu dibuat dengan cat air, wow. Semoga para pelukis itu diberi kesehatan selalu (lebay, ya..hehehe..).
Ceritanya, sederhana. Kita banyak menemukan esensi film ini di banyak film bertema keluarga. Tentang seorang anak yang ‘berbeda’ dari saudara-saudaranya. Kekuatan si anak, tersimpan jauh di dalam dirinya yang ringkih, dan kurang ‘dianggap’. Kematian ayah Arlo, si dino ringkih, yang dihajar banjir bandang saat sedang melatihnya untuk lebih kuat, mengubah segalanya. Satu ketika, Arlo bertualang mengejar bocah gua—di film ini, dinosaurus tampak manusiawi, dan manusia di tahap awal perkembangan peradaban, malah seperti binatang—yang menurut Arlo, menjadi penyebab ayahnya mati.
Petualangan mengejar Spot, si bocah gua, menjadi perjalanan Arlo untuk menemukan banyak hal yang mengubah dirinya. Arlo diuji alam. Si bocah, justru kemudian menjadi sahabatnya. Lalu berdua, Arlo dan Spot meneruskan petualangan dengan berbagai rintangan yang tak mudah.
Bagi saya, cerita film ini—meski tidak sangat istimewa—berhasil menenggelamkan pikiran. Tapi teristimewa, tentu saja tampilan-tampilan fisik yang diperlihatkan oleh film animasi ini. Banyak sekali adegan kejutan.
Banyak menonton film, tapi sejak tidak lagi menjadi jurnalis di sebuah lembaga penerbitan, saya tak lagi menulis. Kali ini, rasanya ingin sekali. Sekeren apa The Good Dinosaur, Anda harus nonton. Sebab boleh jadi, kekaguman saya tidak ‘sekelas’ dengan penilaian Anda tentang sebuah film.
Tapi setidaknya, dari bukti subyektif yang saya punya, saya cukup yakin mengatakan bahwa ini, film keren buat keluarga. Rinciannya, berikut ini. Pertama, istri saya, jarang sekali menuntaskan film di bioskop maupun di televisi. Separuh film, dia biasanya tertidur lelap. Bahkan kurang dari separuh. Entah itu film action, apalagi drama yang butuh kesabaran untuk menyimaknya.
Tapi kali ini, dia melek, fokus, dan banyak tertawa. Sesekali, menangis (ini sih biasa. Nonton apa aja yang ada degan sedihnya, pasti nangis dia. Kadang bareng saya sih, nangisnya). Bagi saya, cukup untuk mengatakan bahwa film The Good Dinosaur sangat bagus, karena dia berhasil membuat ‘orang yang ngantukan saat nonton’ malah melek dengan sedemikian senang dan puasnya.
Kedua, si bungsu Raray Sagara Kahade. November ini baru genap 3 tahun. Beberapa waktu lalu, ketika saya ajak nonton Pendekar Tongkat Emas lalu juga The Avenger: Age of Ultron, si kecil hanya sesekali fokus. Sisanya, ia ngoceh, lari-lari di lorong, minum susu dan tidur.
Kali ini, terus memperhatikan film. Sambil nyedot susu di sih. Di botol. Bahkan dia tertawa ketika kami, penonton dewasa termasuk dua kakaknya yang belasan tahun, tertawa terbahak-bahak. Sesekali, ia bahkan tertawa ketika kami hanya tersenyum. Kadang memang ia tertawa pada adegan-adegan slapstick. Tapi adakalanya, si kecil tertawa ringan untuk adegan dan suasana yang menurut saya, ‘butuh’ pencernaan.
Jelas, saya tidak tahu, dan tidak akan tahu, apakah alasan Sagara tertawa sama dengan kami yang dewasa. Tapi saya percaya, film ini berhasil menyampaikan pesannya—apapun itu—kepada si kecil.
Sebuah film, berhasil membuat seorang ibu—yang lelah mengurus rumah di hari libur—tetap terjaga dan tertawa, dan seorang bocah tiga tahun terpukau…bagi saya, ini wow. Cobain deh, ajak keluarga nonton. Ke bioskop dulu, karena nonton DVD bajakannya pasti gak akan seseru itu. Itu aja dulu. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H