Mohon tunggu...
Raditya Riefananda
Raditya Riefananda Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penjual Buku Eceran | Founder Aksarapedia.id "Hanya manusia biasa yang gemar menulis. Menulis yang saya bicarakan, berbicara apa yang saya tuliskan. Menulis apa yang saya lakukan, melakukan apa yang saya tuliskan."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semua Kengerian ini

31 Desember 2017   16:36 Diperbarui: 31 Desember 2017   16:41 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


 Mungkin, dunia ini memang enggak rame jika  enggak ada kebencian, kemungkaran, angkara, pembantaian dan pembunuhan.  Gambaran paradoks-paradoks semesta yang realitasnya memang ada, meski  Tuhan sendiri adalah Maha Baik. 

Ada enggak sih, koki yang ingin  membuat masakan yang enggak nikmat? insinyur yang ingin menciptakan  pesawat yang tak aman? pekerja seni yang ingin menghasilkan seni yang tak  berarti? para pekerja yang ingin memberikan hasil tak sempurna? Saya  rasa tidak ada. Semua ingin menghasilkan yang baik. Bukan buruk.

Sehingga menjadi semacam rahasia dimana mungkin hanya Tuhan saja yang  tahu jawabannya, ketika Dia mengadakan kebaikan  tapi  pada waktu yang  sama keburukan juga ada sebagai pasangannya. Persis seperti  para ilmuan yang akhirnya mendefinisikan bahwa kematian adalah sistem  yang telah ada bersamaan dengan saat adanya sistem kehidupan.   

Akal. 

Hanya orang-orang yang mau memikirkan dengan akalnya saja, yang  setidaknya akan mampu mendekati Rahasia Tuhan itu. Hanya orang yang akalnya dipakai saja yang mampu mencaritahu, mengapa Tuhan yang Maha  Baik itu, tidak memusnahkan saja keburukan yang ada di semesta agar damai dunia dan sampai sesendal-sendal jepitnya. Hingga yang tersisa hanya kebaikan saja.

Atau mungkin  sekarang, Tuhan sedang tersenyum di sana entah di mana. Sambil ngintip  ke arah manusia-manusia serta mengamatinya satu per satu, mana yang  menggunakan nalar yang diberikan-Nya dan mana yang tidak. Sambil mbatin  "Oh, si Panjul ternyata otaknya dipake buat memikirkan kebaikan. Oh, si  Poniyun ternyata otaknya dipake buat mikirin keburukan. Okey, Fix", gitu  kali.

Tuhan ingin kita berpikir. Iyes, itu aja. Berpikir.

Tak usahlah dulu berpikir untuk menata semesta dan dunia. Tak usahlah  dulu berpikir untuk menata negara tetangga yang bahkan kita mungkin belum pernah ke sana. Tak usahlah dulu berpikir untuk menata negara kita. Tak usahlah dulu berpikir untuk menata  propinsi, kota, kecamatan, kelurahan, kampung, saudara hingga keluarga, jika semua itu memang belum mampu. Tak perlu.

Kita perkecil saja  dalam memikirkan cakupan tatanannya, yaitu dimulai dari diri kita  sendiri terlebih dahulu. Dengan bertanya, sudah seberapa sering akal yang  diberikan-Nya itu kita gunakan untuk memikirkan kebaikan saja. 

Sehingga  minimal semua kengerian dan keburukan yang terjadi ini, tak perlu  terjadi pula pada jagad semesta terkecil, yaitu diri kita sendiri.  Sampai akhirnya, yang ada pada diri kita hanya cukup kebaikan seperti yang diinginkan-Nya. Sampai kapan? 

Ya mungkin sampai  putaran bumi ini, tak lagi berotasi pada porosnya lagi. Atau mungkin  sampai sandal jepit sudah mulai bisa terbang, dan wajan-wajan menjadi  moda transportasi di bumi.

 Tuhan ingin kita terus berpikir. Yaitu terus-menerus memikirkan tentang kebaikan saja. Think about it!

Kriiik,...kriiik,...kriiik,...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun