"Mengapa wanita perlu tetap bekerja? Sederhana jawabannya, supaya enggak bengong. Eh, bukan. Bukan itu!"
Gini, wanita perlu tetap bekerja supaya tetap menjadi pribadi yang kuat. Berdiri di atas kemandirian kakinya sendiri dalam mewujudkan kebahagiaan yang selaras dengan tugasnya sebagai madrasah untuk anak-anaknya kelak.
Realitasnya, setelah menikah nanti tak ada satupun wanita yang tau kapan suaminya akan mati. Faktanya, tak ada satupun juga suami yang tau sampai kapan dia akan mendampingi dan mengayomi kebutuhan istri.
Ketika tiba-tiba ajal datang menjemput suami, kejatuhan wajan misalnya, wajan satu kontainer  plus dengan kontainernya, na'uddzubillah, setidaknya secara finansial si istri dapat lebih tenang melanjutkan hidup bersama anak-anak, karena stabilisasi ekonomisasi akibat mandirisasisasisasinya memiliki pekerjaan. Kerja apa saja, usaha apa saja. Yang penting halal dan baik.
Ibarat kata jika hal itu terjadi menimpa suami, wanita enggak perlu terlalu khawatir dan takut untuk  melanjutkan hidup. Juga agar enggak mudah tergoda oleh iming-iming sebagian pria buas yang bertebaran di jagad raya saat dalam kesendirian tanpa pasangan dan hanya hidup bersama anak-anak.
Setidaknya kuat ketika ditinggal "pergi" oleh suami. Baik "pergi" dalam artian meninggal, maupun cerai karena suami kawin lagi, selingkuh, atau hilang tanpa tercium baunya akibat diculik oleh gerombolan alien dari planet Hula-hula Kutumbaba.
Selain itu, penelitian yang didanai oleh sebuah komunitas Semut Rang-rang pecinta JKT48 itu juga menyimpulkan. Bahwa istri-istri yang bekerja ternyata terbukti akan lebih memiliki kekuatan dan keleluasaan dalam menentukan jalan hidupnya jika ternyata suami "bertingkah" di belakang mereka. Berselingkuh itu, misalnya.
Istri yang bekerja dalam kemandirian dan stabilitas finansial yang kuat, akan lebih berani untuk bertindak atau bahkan menghempaskan suaminya yang "bertingkah". Mencelupkan mereka ke samudera yang luas, lalu melanjutkan hidup dengan bergegas di atas kebahagiaan kaki sendiri bersama anak-anak meski tanpa suami lagi.
Bukan menangis tiap malam dipojokan kamar bersama bantal. Merana, namun bingung tak bisa berbuat apa-apa menerima perangai buruk suaminya.