Mohon tunggu...
Kangmas Hejis
Kangmas Hejis Mohon Tunggu... lainnya -

Pembelajar saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pro-Kon Lembaga Survei Pemilu

15 Januari 2014   10:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biang keladi pro-kon berkenaan dengan survei-survei pemilu terletak pada dicurigainya lembaga-lembaga survei tertentu yang dianggap hanya menerima pesanan dari pihak tertentu untuk memunculkan nama tokoh atau partai agar mendapatkan elektabilitas tertinggi.

Lembaga semacam ini membuang kaidah-kaidah ilmiah yang mestinya diterapkan dalam penyelenggaraan survei. Mereka bekerja bukan karena ingin mengetahui fakta ilmiah melainkan demi uang atau dukungan pada tokoh atau partai tertentu semata. Sehingga, hasil yang diperolehnya pun sering berseberangan dengan hasil survei yang menggunakan kaidah ilmiah.

Survei adalah salah satu cara ilmiah untuk mengetahui fakta ilmiah yang diyakini mewakili fakta sosial/alamiah yang jika dilakukan dengan konvensional akan sulit. Misalnya, untuk mengetahui siapa capres pilihan penduduk Indonesia yang berjumlah 240 jutaan tentu sulit jika harus menanyai satu per satu penduduk.

Oleh sebab itu, dengan survei yang tidak perlu menggunakan cara yang sulit itu tujuan untuk mengetahuinya cukup dengan menanyai sejumlah individu yang dianggap mewakili seluruh penduduk Indonesia. Di sinilah pentingnya metodologi survei agar simpulan yang diambil mendekati kondisi yang sesungguhnya.

Lembaga-lembaga survei yang mengabaikan kaidah-kaidah ilmiah di dunia ilmiah dianggap sebagai “pelacuran ilmiah” Lacur menurut KBBI adalah kata sifat yang berarti ‘buruk laku’ dan ‘malang; celaka; gagal; sial; tidak jadi.’ Kata ini kemudian lebih banyak dikenal pada kata “pelacur” yakni perempuan yang mencari uang dengan menjajakan diri untuk melakukan hubungan seksual.

Mungkin karena istilah itu dianggap terlalu kasar, orang menggantinya dengan istilah WTS (wanita tuna susila). Belakangan hari istilah ini diprotes kaum feminis yang menuduh terjadi bias gender karena lelaki juga ada yang mengeksploitasi seks. Mereka menggantinya dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).

Lembaga-lembaga survei yang menyalahgunakan istilah “survei” demi uang atau dukungan mirip dengan PSK itu. Mungkin istilah PSK ini juga dapat disematkan kepada mereka yakni Penyelenggara Survei Komersial. Metodologi yang telah menjadi konvensi di dunia ilmiah sebagai metode penarikan simpulan hasil penelitian diabaikan oleh lembaga-lembaga tersebut. Hasil survei seperti ini tentu saja tidak diakui oleh dunia ilmiah.

Wajib lapor bagi lembaga survei

Melihat praktik seperti itu meskipun belum pernah ada upaya membuktikan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden merasa galau. Mereka tidak ingin hasil dari survei “abal-abal” yang dilesenggarakan oleh PSK (penyelenggara survei komersial) menyesatkan publik yang berpotensi merugikan partai tertentu dan menguntungkan partai lainnya dengan cara yang lacur. KPU berencana menertibkan lembaga-lembaga survei pemilu.

Menurut KPU lembaga survei itu wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan peraturan KPU. Aturan ini mencatumkan rambu-rambu dan syarat yang wajib dipenuhi sebuah lembaga survei saat pemilu. Antara lain, kata dia, lembaga survei harus memiliki sumber dana, kepengurusan, dan metodologi yang jelas.

Niat KPU itu pun mendapat tanggapan yang bernada protes dari sebagian warga komunitas akademik. Misalnya, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Boni Hargens menilai sebaliknya. "Kehadiran mereka, saya rasa tak perlu dicurigai, tak perlu dikontrol terlalu jauh. Kalau harus mendaftarkan diri, itu namanya pemerkosaan publik," ujar Boni (VIVAnews. 15/1/2014).

Dua asumsi yang berbeda

Beda pendapat antara KPU dan kalangan akademik tentang perlunya lembaga survei wajib lapor kepada KPU terjadi karena asumsi yang digunakan masing-masing pihak berbeda. KPU mewakili pihak yang berasumsi bahwa survei juga menjadi bagian dari pendidikan politik di mana publik masih dalam kondisi tingkat kesadaran politiknya masih rendah. Sedangkan pihak yang menentang “wajib lapor” lembaga survei berasumsi pendidikan politik dilakukan tidak harus dengan membelenggu kebebasan akademik.

Dengan asumsi KPU itu “survai abal-abal” dianggap akan menyesatkan publik yang pada gilirannya akan menggiring publik pada pilihan yang bukan sebenarnya. Publik memilih capres/partai tertentu karena tergiring oleh hasil survei yang tidak valid. Hal ini karena publik belum memiliki pemikiran kritis terhadap hasil-hasil survei pemilu.

Dengan demikian KPU merasa perlu untuk melakukan pendidikan politik dengan cara menghilangkan pengaruh-pengaruh buruk. KPU dengan sadar atau tidak, pendidikan politik mesti dilakukan dengan pendekatan top-down. Artinya, pihak-pihak yang melek politik harus membimbing publik yang masih buta politik. Publik dianggap sebagai massa yang dapat diombang-ambingkan oleh pihak yang melek politik tetapi “buruk laku.” Jadi, PSK harus ditekan dan dibatasi ruang geraknya dengan wajib lapor kepada KPU.

Di sisi lain, pihak yang menentang pengaturan lembaga survei dilandasi dengan asumsi yang bernuansa kehidupan akademik-ilmiah. Dalam kehidupan akademik-ilmiah kebenaran diakui sebagai fakta ilmiah bila cara menentukannya dilakukan dengan metode-metode yang diakui di dunia ilmiah. Pendidikan politik juga dilakukan dengan cara-cara yang berlaku di dunia ilmiah.

Pihak ini berpandangan pendidikan politik yang dilakukan mesti dengan pendekatan bottom-up. Publik dilibatkan dalam mencerdaskan pengetahuan politiknya dengan mengajaknya untuk menilai survei-survei pemilu. Dengan trial and error, publik akan sampai pada kesadaran politik yang diharapkan. Barangkali akan terjadi konflik ketika publik dihadapkan pada hasil-hasil survei yang bertentangan. Namun seiring intensitas dan seringnya publik berwacana politik secara ilmiah akan terjadi pemahaman politik yang meningkat.

Artinya, publik yang buta politik sekali pun akan menjadi melek politik dengan menyajikan hasil survei, sekali pun hasil itu tidak sesuai dengan harapan dari publik itu sendiri. Pada saatnya nanti publik akan mengerti bahwa hasil survei tidak harus seperti yang diinginkannya. Dan, kesadaran itu akan mengerucut kepada pemahaman bahwa mereka telah keliru. Mereka akan memahami survei merupakan cara yang dapt dibantah hasilnya dengan cara survei juga.

Bahkan di dunia akademik, hasil-hasil yang berlawanan dari banyak survei yang dilakukan dianggap sebagai fakta ilmiah yang wajib dipertentangkan satu sama lain untuk menghasilkan simpulan sementara (hipotesis). Proses ini yang disebut teorisasi merupakan tahap yang mesti dilalui oleh mereka yang berkecimpung di dunia akademik. Bagaimana halnya jika survei dilakukan oleh PSK yang mengelabui publik karena dengan sengaja membuang kaidah-kaidah ilmiah?

Mereka akan menyerahkannya kepada anggota komunitas akademik. Mereka menganggap komunitas akademik akan mengetahui survei yang abal-abal itu dengan menghukum PSK sebagai pihak yang tidak memiliki kredibilitas dan reputasi ilmiah. PSK pada saatnya akan menghilang dengan sendirinya karena telah kehilangan kepercayaan dari komunitas.

Praktik seperti ini terjadi di dunia ilmiah karena komunitas ilmiah menganggap survei atau penelitian adalah hak sekaligus kewajiban insan-insan akademik. Seseorang dianggap sebagai ilmuwan atau berilmu manakala melakukan atau merujuk simpulan berdasarkan fakta ilmiah yang telah diuji melalui survei atau penelitian ilmiah.

Lalu bagaimana selanjutnya?

Pro-kon wajib lapor bagi lembaga-lembaga survei pemilu sebenarnya dapat diatasi dengan pengaturan tetapi dalam batas-batas tertentu. KPU sebagai pihak yang memiliki kewenangan mengatur penyelenggaraan pemilu sudah pada trek yang benar dengan mewajibkan semua lembaga yang mengadakan survei untuk dikaji apakah sebuah lembaga survei telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah dan ketentuan perundang-undangan.

KPU dapat melakukan semacam audit mengenai manajemen, kepengurusan, pendanaan, dan metodologi penyelenggaraan survei pada lembaga survei. Namun KPU tidak boleh menata sampai detail lembaga survei atau membuat pernyataan bahwa sebuah lembaga survei tertentu sebagai lembaga yang dilarang bahkan dikenakan ancaman hukuman penjara.

KPU cukup memberikan semacam akreditasi atau publikasi terhadap lembaga-lembaga yang dianggap layak sebagai penyelenggara survei yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Lembaga yang tidak mendapatkan rekomendasi dari KPU diserahkan penilaiannya kepada publik. Biarlah publik yang menentukan kredibilitas dan validitasnya.

Dengan demikian, dua asumsi yang berlawanan sehingga menimbulkan pro-kon perlunya “wajib lapor” bagi semua lembaga survei dapat diakomodasi. Di satu sisi, pendidikan politik kepada sebagian publik yang belum melek politik dapat ditingkatkan tanpa menganggap publik ini tidak tahu apa-apa karena telah dilibatkan dalam penilaian sebuah survei. Di sisi lain, para petualang politik yang mencair uang atau dukungan publik (PSK) dapat diminimalisasikan tanpa mengurangi nuansa dunia akademik-ilmiah yang perlu dibudayakan dalam kehidupan masyarakat.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun