Mohon tunggu...
Kangmas Hejis
Kangmas Hejis Mohon Tunggu... lainnya -

Pembelajar saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Banjir Bisa Membuat Jokowi Jadi Presiden

13 Januari 2014   19:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 2101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir di Jakarta yang terjadi saat ini cukup parah. Banyak jalur angkutan lalu lintas yang terputus dan dialihkan ke jalur lain yang menambah kemacetan. Di beberapa tempat banjir mencapai ketinggian 2 meter. Lebih dari 11 ribu jiwa terkena dampak langsung. Di beberapa tempat listrik dipadamkan yang membuat kehidupan sementara bertambah sulit.

Jakarta memang termasuk kota yang rawan banjir. Setiap tahun selalu didatangi air bah ini di musim hujan. Banjir kali ini punya makna khusus karena berbarengan dengan tahun politik di mana pemilu legislatif dan eksekutif bakal dihelat.

Lawan-lawan politik Gubernur Jokowi yang digadang-gadang banyak orang sebagai calon presiden sudah pasti telah menyiapkan serangan dengan “amunisi banjir”. Dengan adanya banjir, mereka punya amunisi baru untuk melancarkan aksinya. Selama ini para elite politik dari berbagai parpol selalu melancarkan serangan dengan “amunisi blusukan,” “amunisi pencitraan,” dan amunisi lainnya.

Lihat saja Ruhut Sitompul pemeran sinteron “Poltak Si Raja Minyak” itu langsung tanpa menunggu waktu lama mengeluarkan pernyataan yang mengkritik Jokowi. Politikus dari Partai Demokrat itu, kembali mengkritik Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ia menilai kerja blusukan yang dilakukan Jokowi selama ini tidak berpengaruh apa pun terhadap upaya pencegahan banjir. Hari ini sebagian wilayah Jakarta terendam banjir akibat hujan deras yang mengguyur Ibu Kota dan sekitarnya (Kompas.com, 13/1/2014).

"Terbukti blusukan-nya percuma, satu tahun, gimana mau mengurus Indonesia kalau mau mengurus Jakarta saja tidak bisa?" kata Ruhut sebagaimana dikutip Warta Kota, Senin (13/1/2014).

Efek pendzoliman berperan kembali

Dalam percaturan politik kita, orang masih ingat saat SBY naik takhta menjadi presiden terutama juga disebabkan adanya anggapan bahwa SBY telah didzolimi, selain pencitraan yang efektif dan sosok fisik yang menawan. Efek pendzoliman ini sangat kuat membangun persepsi di benak publik. Dengan persepsi yang terbentuk ini publik akhirnya menggunakannya sebagai preferensi dalam pemilu presiden.

Para lawan politik Jokowi mestinya menggunakan issue-issue yang lebih logis. Mereka juga perlu mengkonstruksikan issue-issue dengan lebih halus dan cerdas. Tetapi, selama ini para elite yang berniat menyingkirkan Jokowi dari bursa capres malah mengusung issue-issue yang di mata publik justru tidak masuk akal.

Mereka, misalnya menyalahkan Jokowi atas terjadinya penyadapan SBY dan para petinggi pemerintahan RI oleh Australia, menyalahkan Jokowi atas kemacetan di Jakarta, menganggap blusukan sebagai buang-buang waktu saja, menganggap Jokowi melanggar HAM ketika menggusur penduduk waduk Ria Rio.

Cara-cara seperti itu di mata publik, dianggap sebagai cara yang kekanak-kanakan dan sangat naif. Di mata para pendukung Jokowi sendiri cara-cara seperti itu dapat digunakan sebagai senjata bagi serangan balik kepada haters Jokowi. Sepertinya para elite pembenci Jokowi tidak menyadari bahwa move politik mereka justru dapat membangkitkan kembali efek pendzoliman yang menjadi blessing in disguise bagi SBY.

Efek pendzoliman menjadi semakin kuat oleh penampilan Jokowi yang terkesan tidak melawan dan tidak menanggapi balik secara negatif. Publik menganggap respon Jokowi terhadap serangan-serangan yang ditujukan kepadanya sebagai kredit poin bagi Jokowi. Ini dapat dilihat dengan semakin tingginya elektabilitas Jokowi dari waktu ke waktu.

Korban banjir justru doakan Jokowi jadi presiden

Dengan adanya banjir pihak yang paling menderita adalah para korban yang rumahnya tergenang air. Mereka harus kehilangan banyak barang berharga karena rusak, kurang tidur dan kemungkinan terkena penyakit, malahan tidak sedikit yang harus mengungsi akibat rumahnya tidak bisa ditempati lagi.

Jika kepada mereka diminta menyebutkan siapa yang harus dipersalahkan, masuk akal apabila mereka menyalahkan Jokowi sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab terhadap warganya agar terhindar dari banjir. Namun, kenyataannya malah sebaliknya.

Tatkala Jokowi mengunjungi korban banjir, ia sempat berbincang-bincang dengan warga korban banjir. Di sela-sela pemberian bantuan Jokowi menyempatkan untuk memberikan nasihat selayaknya.

Menjawab nasihat Jokowi, warga langsung mendoakan mantan Walikota Surakarta tersebut. "Semoga Pak Jokowi jadi presiden, sukses terus, dan sehat," kata para korban banjir (TribunNews.com, 13/1/2014).

Doa warga korban banjir ini tentu menjadikan fakta ini sebagai paradoks dengan kecaman-kecaman elite tertentu terhadap Jokowi. Pihak yang menjadi korban banjir saja mendoakan Jokowi menjadi Presiden. Padahal biasanya korban mengeluhkan kondisi atau menyalahkan pejabat yang berwenang.

Dampak dari fakta korban mendoakan Jokowi terhadap posisi Jokowi sebagai nama yang sering disebut sebagai capres ini menambah kredit poin lagi baginya. Lagi-lagi persepsi publik terhadap Jokowi bertambah positif karena adanya fakta ini.

Memperkuat dorongan Jokowi jadi presiden

Sepintas upaya mengkorelasikan doa warga korban banjir dengan kemungkinan Jokowi menjadi presiden tampaknya merupakan upaya yang lugu dan palsu. Tetapi, fakta ini akan terlihat kuat manakala disinergikan dengan fakta-fakta penyebab menguatnya elektabilitas Jokowi. Jadi, fakta doa warga ini tidak dapat dianalisis sebagai variabel yang terpisah dari variabel-variabel penguat dukungan terhadap Jokowi lainnya.

Doa warga tidak serta-merta muncul sebagai ungkapan basa-basi karena hal itu terlontar di saat seharusnya berkebalikan dengan fakta itu. Doa ini muncul karena para warga korban banjir sudah memiliki preferensi-preferensi yang cukup kuat. Di benak mereka telah ada persepsi awal bahwa Jokowi merupakan orang yang tepat untuk menjadi presiden bagi mereka.

Tentu saja terlalu prematur mengatakan Jokowi akan menjadi presiden. Masih terlalu banyak dan besar halangan yang menghadang pencapresan Jokowi. Izin “Godmother” partainya Jokowi, kesanggupan Jokowi sendiri, kecukupan perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif (jika judicial review Efendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra tidak disetujui MK), terjadinya peristiwa besar yang menyebabkan dukungan publik kepada Jokowi menjadi merosot, kecurangan yang mungkin terjadi untuk menjegal Jokowi, atau peristiwa besar yang menguntungkan lawan politik Jokowi, seperti Prabowo atau Wiranto, misalnya, merupakan hal-hal yang harus diatasi agar Jokowi dapat menjadi capres.

Bagi tokoh-tokoh partai dan elite-elitenya yang ingin menggusur Jokowi hendaknya memikirkan kembali strateginya. Strategi naif dan kekanak-kanakan yang selama ini digunakan harus sudah ditanggalkan. Strategi terbaik bagi yang ingin menjadi lawan yang kuat bagi Jokowi adalah tindakan atau program yang dapat meyakinkan publik bahwa mereka adalah capres yang paling tepat daripada Jokowi. Apakah akan ada yang berhasil? Waktu yang akan menjawabnya.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun