Instruksi Gubernur DKI Nomor 150 Tahun 2013 tentang penggunaan kendaraan umum bagi pejabat dan pegawai di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dalam hitungan hari telah menuai kritik. Tidak tanggung-tanggung yang dikritik adalah Wakil Gubernur sendiri yang menurut berita ia telah ikut memarafnya karena dianggap malah menentang aturan itu.
In-Gub itu sendiri berisi aturan yang melarang pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat di lingkungan Pemprov DKI untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi dan dinas roda dua dan roda empat. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikutip pertimbangan dan seluruh keempat diktum Instruksi Gubernur tersebut:
Dalam rangka mendukung dan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengurangi kemacetan serta memberikan contoh kepada masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum, dingan ini menginstruksikan:
KESATU:
Mewajibkan kepada seluruh pejabat dan pegawai di bawah pimpinan Saudara agar dalam melaksanakan tugas ke tempat kerja menggunakan kendaraan umum dan dilarang menggunakan kendaraan bermotor pribadi baik beroda 4 (empat) maupun beroda 2 (dua) atau kendaraan dinas operasional perorangan jabatan.
KEDUA:
Ketentuan penggunaan kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU diberlakukan 1 (satu) kali setiap bulan pada hari Jumat minggu pertama.
KETIGA:
Dikecualikan dari larangan penggunaan kendaraan bermotor pribadi maupun kendaraan operasional perorangan/jabatan sebagaimana dimaksud pada diktum KESATU, maka untuk pelaksanaan tugas pada hari sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA, Saudara beserta pejabat dan pegawai dapat menggunakan kendaraan dinas operasional lainnya berupa mobil:
a.Ambulans;
b.Pemadam kebakaran;
c.Patroli jalan raya;
d.Penanggulangan bencana;
e.Satuan Polisi Pamong Praja;
f.Pompa banjir;
g.Penyiram tanaman;
h.Penganggkut sampah;
i.Pengangkut air kotor;
j.Perpustakaan keliling;
k.Operasi yustisi;
l.Bus antar jemput pegawai; dan
m.Kendaraan bermotor operasional lainnya untuk pelayanan masyarakat.
KEEMPAT:
Instruksi Gubernur ini agar Saudara laksanakan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab serta menjatuhkan sanksi hukuman disiplin secara berjenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap pejabat dan pegawai yang tidak melaksanakan Instruksi Gubernur ini.
(Dikutip dari http://www.jakarta.go.id/web/produkhukum/index/90)
Basuki Tjahaja Purnama (yang akrab dipanggil Ahok), sang Wakil Gubernur itu, tidak mengikuti aturan itu dan berkilah bahwa aturan itu diperuntukkan bagi PNS padahal ia bukanlah PNS. Jadi, secara hukum ia tidak melanggar hukum. Untuk memperkuat kilahnya, ia menambahkan alasan lainnya.
Sepintas Ahok tidak melanggar aturan tertulis (formal) In-Gub itu. Menurut dia, Instruksi Gubernur Nomor 150 Tahun 2013 itu ditujukan kepada pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta, bukan ditujukan kepada gubernur maupun wakil gubernur. Sebab, jabatan gubernur dan wakil gubernur merupakan jabatan politis dan bukan PNS DKI Jakarta (Kompas.com, 3/1/2014). Dengan begitu, ia dapat dikatakan memiliki kadar kecerdasan hukum (legal intelligence) yang cukup.
Kecerdasan hukum (legal intelligence)
Secara umum yang dimaksud dengan kecerdasan hukum di tulisan ini adalah kecerdasan dalam mengidentifikasi perlunya hukum, memperjuangkan, merancang, mengikuti prosedur pembuatan, menegakkan, dan mentaati aturan hukum untuk kepentingan hidup bernegara.
Dalam kecerdasan hukum mencakup tujuan, fungsi, prinsip, teori, dan hal-ikhwal tentang ilmu hukum dalam kehidupan negara.
Dikaitkan dengan In-Gub di atas, kecerdasan hukum diperlukan terutama untuk memenuhi tujuan ditetapkannya In-Gub tersebut, yakni demi menghemat BBM dan memberikan contoh kepada masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum.
Salah satu poin penting dalam kecerdasan hukum adalah kesenjangan antara hukum yang positif dan penegakkannya yang cenderung mengacu pada aturan formal (prosedural dan bahasa tulis dalam ketentuan hukum). Penegak hukum dan orang-orang yang menghadapi masalah hukum sering hanya berpedoman pada prosedur hukum acara dan kalimat-kalimat yang tertulis dalam setiap pasal di sebuah undang-undang.
Padahal selain aspek formal-prosedural yang tak kalah penting dalam penegakan hukum adalah aspek materiil-substantif tujuan penegakan hukum itu sendiri. Keadilan sebagai roh dari hukum dalam banyak kasus yang sering mendapatkan polemik di masyarakat sebagian besar karena penegakannya hanya berfokus pada aspek formal-prosedural.
Contoh paling mutakhir adalah tentang perlu-tidaknya Hambit Bintih sebagai Bupati Gunung Mas, Kalteng. Mendagri Gamawan Fauzi bersikukuh bahwa Hambit Bintih harus dilantik meskipun di penjara karena menurutnya, peraturan perundang-undangan menginstruksikan demikian. Sedangkan KPK berpendapat bahwa pelantikan tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan material norma hukum.
Kecerdasan hukum yang semu
Kembali pada kasus Ahok yang tidak mau menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke kantor. Kasus Ahok ini hampir sejiwa dengan kasus pelantikan Hambit Bintih. Ahok bersikukuh bahwa ia tidak harus mengikuti aturan In-Gub. Alasan-alasannya dapat diterima dari aspek formal-prosedural aturan hukum.
Ia lalu mencontohkan, Basuki kemudian membandingkan instruksi ini dengan instruksi presiden. Apabila presiden memilih untuk naik bus sama dengan masyarakat, hal itu akan lebih merepotkan orang banyak dengan berbagai peraturan protokoler.
"Misalnya, saya naik sepeda dari Kota, pengawalnya mau berapa banyak? Nanti Dishub semua nutupin orang cuma gara-gara saya mau lewat. Kalau enggak ada pengawal, nanti ditabrak motor gimana," ujar Basuki lagi (Kompas.com, 3/1/2014).
Kecerdasan hukum yang ditunjukkan Ahok sebetulnya dapat dikategorikan kecerdasan hukum yang semu. Dikatakan demikian karena itu terlihat seperti taat kepada hukum tetapi sebenarnya tidak, terutama bila dilihat dari aspek materiil-substansial tujuan hukum. Mengapa?
Pertama, In-Gub itu hakikatnya bertujuan untuk menghemat BBM dan memberikan contoh kepada masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Arti kata “memberikan contoh” termasuk di dalamnya adalah pemimpin dalam hal ini termasuk Wakil Gubernur yang tidak lain adalah diri Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kedua, meskipun Ahok bukan Pegawai Negeri Sipil, ia adalah pejabat. Pejabat dalam pengertian masyarakat merupakan pemimpin dari para pegawai di lingkungan pemerintahan yang dituntut menjadi pelopor penegakan hukum.
Implikasi dari terus digunakannya kecerdasan hukum semu ini sangat luas. Apa lagi bila ditarik ke konteks yang lebih luas yakni penegakan hukum nasional. Rakyat akan terus menganggap masih terus berlangsung hukum yang pilih-kasih, tidak adil, hanya menghukum pihak yang lemah, melindungi pejabat dan pihak yang kuat.
Sebetulnya kalau Ahok mau melanjutkan kecerdasan hukum semu-nya, ia bisa menggunakan kendaran yang bukan roda 2 atau 4 seperti yang disebut secara jelas dalam aturan In-Gub yang tertulis (lihat diktum KESATU). Ia bisa menggunakan bajaj (roda 3) atau trailer yang beroda 14 yang secara tertulis tidak melanggar aturan In-Gub tersebut…. Hehe… guyon, guyon. Jangan marah dulu koh Ahok… *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H