Mohon tunggu...
Catur Wibawa
Catur Wibawa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

yang pernah terlepas dari tangan diary --pauluscatur.com--

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Homeless

13 Maret 2012   17:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi itu, seorang teman melupakan hal penting yang harus dilakukan ketika orang keluar dari kamar mandi : mengenakan celana. Tapi hari itu tidak ada yang tertawa. Sebab, keluar dari kamar mandi dalam keadaan bugil ketika rumah bergetar 6 skala richter bukanlah perkara yang lucu. Sesaat terasa heboh. Saya—bersama 200an penghuni asrama lain—segera menyelamatkan diri ke taman. Asrama tua kami—sebagian besar bangunan Belanda—yang terletak di jalan kaliurang, Yogyakarta ini masih utuh. Cuma ada beberapa genting runtuh.Jadi saya pikir aktivitas masih akan berjalan seperti biasa. Maka, saya bersiap untuk aktivitas saya pagi itu : mengajar anak-anak SD kanisius Baciro, Yogyakarta. Saya mengayuh sepeda onthel saya dan terkejut-kejut menyaksikan pemandangan di kiri-kanan jalan. Bangunan rubuh, berderet-deret sepanjang jalan. Saya baru sadar bahwa bencana baru saja terjadi. Ketika sampai di sekolah, yang saya jumpai hanya reruntuhannya. Karena tidak ada murid yang harus diajar, saya pun pamit dan berniat balik lagi ke asrama. Tapi baru beberapa meter sepeda othel saya berjalan, terjadi heboh besar dan teriakan “air…air….tsunami….tsunami….” sekonyong-konyong jalanan penuh dengan orang-orang yang menyelamatkan diri ke utara, takut dengantsunami yang konon menerjang dari selatan. Beberapa hari kemudian saya mendengarkabar menyedihkan bahwa isu tsunami tersebut sengaja diciptakan supaya orang-orang meninggalkan tempatnya dan sang peniup isu bisa menjarah apa-apa yang mereka tinggalkan. Inilah kisah tentang “Djamino dan Djoliteng” –yang menurut ‘Indonesa Dalem Api dan Bara”nya Kwee Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri, selalu ada di segala bangsa dan segala zaman. Mereka juga berkeliaran di bawah Matahari Mei kota Jogja 2006 itu. Berita semacam itu menimbulkan perasaan sedih dan lebih-lebih perasaan marah. Kenapa masih juga ada orang yang mencari untung di tengah masyarakat yang sedang ditimpa bencana?

Sesampai di asrama, kami segera dikoordinir untuk dikerahkan sebagai relawan. Bersama teman-teman, saya segera ke Rumah Sakit Panti Rapih. Di sana sudah banyak pasien yang didatangkan dari berbagai daerah. Tubuh mereka luka-luka, sebagian lagi anggota badannya hancur. Dari jam ke jam terus berdatangan orang-orang dengan kondisi semacam itu. Tapi dari jam ke jam terus berdatangan pula para relawan yang menyediakan dirinya. Kami membantu mengangkat mereka ke ruang dalam untuk segera mendapatkan pertolongan medis. Atau membantu para dokter dan perawat memberikan pertolongan medis. Hanya itu yang bisa kami lakukan, mengingat kami tidak tahu apa-apa tentang ilmu kedokteran, atau keperawatan.

Beberapa hari setelah itu, sementara surat kabar memperbicangkan teodise—keadilan Tuhan pasca gempa—saya jadi bagian dari orang-orang yang menyediakan dirinya sebagai relawan gempa.Mengirimkan bantuan ke tempat-tempat yang dirasa belum banyak terjangkau oleh bantuan pemerintah atau relawan lain. Bantuan itu terutama berupa tenaga dan makanan (sembako dan nasi bungkus). Beberapa kali, saya ikut membantu merobohkan (sisa-sisa) rumah dan membersihkan puing-puingnya. Sementara pemiliknya harus tinggal di dalam tenda sampai nanti rumahnya sudah jadi atau setidaknya bisa dipakai untuk tidur. Setelah beberapa malam, ketakutan mulai reda. Suasana di tenda-tenda tak lagi melulu kesedihan. Mereka bernyanyi-nyanyi sambil cerita-cerita di bawah lampu minyak yang remang-remang. Seorang teman bahkan menulis sebuah puisi di malam ketika ia dan saudara-saudaranya menginap di tenda. Ia beri judul “Homeless”

Di atas tikar kupandangi sejuta bintang

“Itu scorpion. Itu waluku. Itu gubug penceng.

Kalau yang itu bintang jatuh, sebut permohonanmu”

Dan kubayangkan aku dicium teman sekelasku

Langit jadi seperti taman

Mimpi-mimpiku dan wajahmu bertaburan

Berkelip-kelip di kejauhan

Di atas tikar kupandangi sejuta bintang

Aku mengingat masa kanakku yang penuh impian

Sambil memandang puing-puing rumahku yang dingin dan

kesepian

Yang membuatku sementara jadi gelandangan

Yang letih dan kelaparan

Di waktu lain, saya membantu menyiapkan nasi bungkus untuk korban dan untuk relawan, juga sembako untuk dibagikan kepada para korban.Sembako yang dimaksud tentulah berupa beras, minyak, gula dan tak lupa mie instan. Makanan “modern” yang sejak 1969 diperkenalkan di Indonesia ini segera menyeret masyarakat Indonesia ke dalam imajinasi efisiensi dan modernisasi makanan sehingga tahun 1999 (30 tahun kemudian) produksi mie instan di Indonesia mencapai 5.2 miliar bungkus (“Mie instan dan Jilbab; perempuan postcolonial dan identitas komoditi global,” Kanisius, 2001). Popularitas mie instan ini membuatnya jadi separuh makanan pokok masyarakat Indonesia sehingga ketika berpikir tentang sembako, para penyumbang memasukkan mie instan dalam daftar. Bahkan di beberapa pemukiman korban gempa, termasuk Gantiwarno, warga mengisahkan adanya helikopter yang melemparkan berdus-dus mie instan dari udara dan warga berebutan memperolehnya.

Dan siang itu, kami hendak mengirimkan sembako ke daerah Gantiwarno, Klaten. Tapi karena belum begitu tahu letak persisnya daerah yang kami tuju dan jalan menuju lokasi tersebut, kami merasa perlu bertanya. Kebetulan di depan kami, di persimpangan jalan, banyak orang berkumpul. Sebagian besar pria. Mereka tentulah juga korban gempa. Tapi terlihat tidak ramah. Ketika kami bertanya jalan mana yang harus kami lewati, mereka bukannya menjawab tetapi malah balik bertanya, pertanyaan retoris pula, “Mas-Mas ini bawa apa? Bantuan untuk gempa ya?” kemudian tanpa menunggu jawaban mereka menuju bak mobil dan mengangkuti batuan kami. “Kami korban gempa,” kata salah satu dari mereka. ringkasnya, kami dicegat oleh gerombolan besar“para korban.” Mereka mengambil dengan paksa—katakanlah, menjarah—bantuan yang kami bawa.Kisah seperti ini memang dialami juga oleh beberapa kelompok relawan yang lain. merekahendak mengirimkan bantuan ke daerah pelosok tetapi keburu dihadang oleh “korban” gempa di jalur distribusi. Mereka memang korban dan memang membutuhkan bantuan yang kami bawa. Tetapi apa yang mereka lakukan sungguh menyedihkan. Mengingat korban gempa bukan hanya mereka. Kisah ini adalah bagian dari “misteri” solidaritas yang bukan melulu terhadap korban tetapi juga solidarias antar sesama korban…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun