Mohon tunggu...
Adrin Ma'ruf
Adrin Ma'ruf Mohon Tunggu... Dokter Hewan -

Dokter Hewan yg cinta menulis, dan berkarya.....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendidik "Pemuda", Pahlawan Masa Depan Indonesia

11 November 2015   00:09 Diperbarui: 11 November 2015   00:13 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

           Ada dialog menarik antara bung Hatta dan Soekarno ketika mendiskusikan ihwal yang semestinya dilakukan dilakukan terhadap rakyat yang akan dimerdekakan dari sekapan kaum kolonial. Hatta lebih memilih jalan mendidik rakyat, “Konsepsi saya, kita menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk rakyat. Ini lebih baik daripada bekerja atas dasar daya penarik pribadi dari satu pemimpin” Hujjah seperti ini langsung direspons bung karno dengan argumen “Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun bung Hatta. Jalan yang saudara tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat”

            Tentu saja dua proklamator ini, walaupun mempercakapkan rakyat dengan jalan berbeda, namun memiliki rute tujuan yang serupa ; mempercepat rakyat menemukan kemerdekaanya yang hakiki. Pada giliranya, keduanya saling melengkapi.       Bung Karno, lulusan perguruan tinggi dalam negeri, cenderung mengembangkan politik nonkoperatif dengan pesona orasinya yang mengagitasi massa untuk terus bergerak. Sementara Bung Hatta, alumnus luar negeri, tedensinya koperatif dengan pembawaannya yang kalem menyerukan pentingnya kaderisasi dan penataan bernegara yang solid.

Berpisah

            Pada giliranya, dwitunggal itu harus mufarakah karena prinsip-prinsip yang diyakini sudah tidak mungkin lagi dipertemukan. Berpisah tidak untuk saling membenci, apalagi melakukan provokasi, dan menista satu sama lain. Tetapi justru keduanya berjuang dengan pilihan cara yang berbeda. Yang satu lewat kekuasaan-struktural dengan suara gempita dan bung Hatta melalui lajur sunyi kultural-pendidikan.

            Keduanya tetap dipersatukan cita-cita yang sama, cita-cita yang sesungguhnya telah didialogkan jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika keduanya aktif dalam pergerakan dan pernah merasakan sebagai manusia buangan. Bung Hatta aktif di perhimpunan Indonesia di Belanda, dan akhirnya harus mempertanggungjawabkan nalar kritisnya itu dipengadilan belanda dengan pidato pembelaanya “Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij) dan ketika pulang ke tanah air sempat dibuang ke Boven Digoel sebelum di pindahkan ke banda Niera (1936). Sementara Bung Karno, dalam fragmen fenomenal terlibat dalam Klub Studi Umum Bandung, yang berubah menjadi gerakan radikal (1926), diajukan ke pengadilan dan menyampaikan pleidoi “Indonesia Menggugat” (1930). Atas aktivitas politiknya ia ditangkap untuk kedua kalinya pada 1933 kemudian dibuang ke Ende, Flores, pada 1934 dan tahun 1938 pengasinganya dialihkan ke Bengkulu.

            Sejarah juga mencatat pada 1 Desember 1956, secara resmi Bung Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai wakil presiden ke pada DPR hasil Pemilihan Umum. Dan diakui atau tidak, bubarnya dwitunggal ini pula pada akhirnya membuat kekuasaan Soekarno berwajah absolut karena kehilangan control penyeimbang. Soekarno seperti kehilangan rem dan nyaris tidak ada sosok berwibawa yang dapat mengingatkannya. Sosok bung Hatta, yang ketika proklamasi hendak dibacakan (1945) namun bung hatta belum juga datang, soekarno sempat bilang “Saya tidak akan membacakan teks proklamasi ini sebelum Bung Hatta mendampingi saya! Jika mas Murwadi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri”. Saat itu Mas Muwardi adalah salah seorang tokoh pemuda yang mendesak selekasnya dibacakan teks proklamasi.

            Secara politik, dwitunggal yang telah membuktikan jangkar kokohnya persatuan ini sudah selesai, tetapi hubungan kemanusiaan di antara keduanya tetap terjalin. Ketika Hatta sakit, Soekarno sigap menjenguknya. Ketika dalam kunjungan ke Amerika serikat ada yang menjelek-jelekan bung karno, dengan keras bung Hatta menghardik “Baik buruknya bung Karno, beliau adalah presiden saya!”Begitu pula sebaliknya, tatkala soekarno berbaring tak berdaya, Hatta mebesuknya dengan tulus, bahkan hatta juga yang menjadi wali pernikahan Guntur Soekarnoputra tahun 1968, sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya itu.

            Perkawanan yang ternyata tidak pernah pudar walaupun jalan politik bersimpangan. Yang fana adalah permusuhan, dan yang abadi adalah pertemanan. Yang lekang adalah perseteruan dan yang kekal adalah persahabatan.

Melampaui Sejarah

            Membaca pertemanan Bung Karno dan Bung Hatta hari ini adalah membaca langkah sosok-sosok negarawan yang sulit kita temukan korespondensinya dalam sifat pemuda di Indonesia awal abad ke-21. Yang hilang bukan hanya warisan kecerdasan, keelokan membangun persatuan, ketajaman merangkai argumentasi, keteguhan memegang prinsip, keintiman bergaul dengan sesama, dan keberanian menentang kezaliman, tetapi juga hari ini jagat “pertemanan” itu sudah punah dalam aras kebudaayaan pemuda di jazirah negeri kepulauan ini.

            Inilah sejatinya yang menjadi alasan pokok, membaca jagat budaya pemuda hari ini kita seperti sedang diajak menuju lorong jahiliah, menuju situasi gelap segelap-gelapnya. Yang tersisa dari peradaban muda kali ini hanya kekerasan, ketidakjujuran yang membudaya, berkembangnya rasa tidak hormat, hilangnya kebanggaan menggunakan bahasa negeri sendiri, kaburnya pedoman moral, melemahnya nilai idealisme dan patriotisme, dan meningkatnya penggunaan narkoba serta sikap pragmatis, dan hedonisme.

            Sejatinya masyarakat Indonesia adalah bentuk kehidupan masyarakat yang sudah berlangsung di pulau-pulau nusantara sejak berabad-abad lalu yang memiliki seperangkat nilai mental yang berifat homogen, struktural, dan kolektif. Sikap inilah yang kemudian menjadi sumber utama dari semangat kebersamaan dan kolektivisme yang hidup dalam hati sanubari setiap anggota masyrakat indonesia, termasuk pula pemuda. Selanjutnya ini mewujud dalam sikap saling tolong-menolong di antara sesama anggota masyarakat desa dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari seperti mengerjakan sawah, membuat rumah, atau mengurus orang meninggal. Sartono Kartodirdjo menyebut peristiwa ini dengan “Solidaritas khas masyarakat agraris tradisional”, yang kemudian pelan-pelan berevolusi menjadi karakter bangsa dan dijunjung tinggi oleh gerakan kepemudaan di masa lampau (penjajahan) untuk melawan kaum imperialisme dan kolonial, serta membangun negeri ini.

            Tentu saja pada masa jahiliah seperti ini, jangan harapkan muncul pertemanan lengkap dengan etos hospitalitas dan etika imperatifnya, seperti kejujuran, kesetiakawanan, empatik, dan akhlakul karimah. Malah nyaris yang sering terdengar adalah upaya mengabadikan relasi permusuhan, bikin pagelaran aksi anarkis. Sungguh, sepanjang mata memandang, yang kita saksikan adalah wajah penerus bangsa yang buruk rupa. Hari ini yang berlaku bukan hanya keharusan membangun negeri melainkan juga kewajiban untuk mendidik pemuda Indonesia.

Selamat Hari Pahlawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun