Mohon tunggu...
Tama Yudhistira
Tama Yudhistira Mohon Tunggu... Guru - Guru

Keep smiling and pretend you know what's going on .... Hatake Kakashi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Percayalah, Guru Lebih Mudah Terkena Holiday Blues

4 Januari 2024   09:37 Diperbarui: 4 Januari 2024   11:18 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percayalah guru salah satu profesi yang mudah terkena Holiday Blues. Mengapa demikian?

Masih ingatkah ketika Pak Jokowi kaget betapa besar tingkat stres para guru di Indonesia. Data yang disampaikan oleh Presiden RI ini bukan data sembarangan yang asal disampaikan di depan para guru se Indonesia melalui perayaan HUT ke 78 PGRI bukan November 2024 kemarin.

Data yang dikeluarkan oleh lembaga riset internasional RAND Corporation 2022 menyatakan guru dalah profesi dengan tingkat stress paling tinggi. Nampaknya, ini bukan hasil riset serampangan.

Hasil ini kemudian saya renungkan, memang benar adanya. Sebab terjadinya stres yang dialami guru berdasar riset tersebut karena perilaku siswa dan perubahan kurikulum yang cepat. 

Perubahan Teknologi
Perubahan teknologi disinyalir menjadi salah satu penyumbang terbesar prosentase  yang mempengaruhi dua faktor di atas.

Perubahan perilaku anak jaman sekarang sungguh jauh berbeda dengan anak jaman dulu. Semangat, daya juang, kesabaran berproses dan disiplin menjadi sebagian karakter yang boleh dijadikan catatan. Bahkan dalam berhubungan sosial, etika kesopanan sudah sangat berbeda jauh berkurang dibandingkan dulu.

Tentu argumentasi ini tidak bisa dipakai secara general namun sebagian besar guru di manapun mengeluhkan hal yang sama terkait perubahan karakter dan  perilaku anak didik.

Kemudahan akses informasi, lebih-lebih lagi video atau konten media sosial yang mengesampingkan norma menjadi salah satu penyebabnya. Kemudahan akses tersebut menjadi jurang kemunduran, apabila anak didik tidak bisa menyaringnya. Kacaunya lagi, pengawasan orang tua minim. Tambah kacau lagi, orang tua tahunya anak nya bagus, baik-baik saja. Karena sehari-hari anak tak pernah main keluar, padahal perilaku anak di luar rumah jauh dari ekspektasinya.

Maka tidak heran kasus - kasus penganiayaan guru muncul berulang kali di berbagai kota. Menyedihkan lagi, orang tua ikut berperan dalam menyokong perilaku anaknya. Entah memviralkan guru yang dianggap bermasalah, didatangi ke sekolah bawa parang, ngetapel mata seorang guru (kasus yang terbaru). Miris kan?

Faktor kedua adalah perubahan teknologi juga mempengaruhi perubahan kurikulum. Saat ini banyak sekali yang mengagungkan kurikulum merdeka. Bahkan banyak konten kreator seketika itu pula berubah menjadi sales kurikulum.

Kurikulum merdeka yang awalnya hanya optional, sekarang sudah menjadi hal yang "wajib". Bahkan sampai ada edaran, sekolah sudah harus menggunakan kurikulum merdeka, terserah level 1 mandiri belajar, level 2 mandiri berubah ataupun level 3 mandiri berbagi. Kan kacau jadinya!

Pada akhirnya guru dipaksa, untuk mengikuti instruksi perubahan kurikulum tersebut. Apakah hasil pemaksaan itu bagus? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Banyak faktornya, tergantung kesiapan SDM dan prasarana pendukungnya. Tapi ini kalau dibahas tentu panjang ceritanya.

Saya sebagai guru juga mengiyakan, bahwa perubahan kurikulum yang cepat, belum ada 7 tahun sudah berubah memang menjadikan masalah tersendiri. Walaupun, sebagai guru ya saya harus siap dengan perubahan tersebut.  Saya tak mempermasalahkannya, tapi saya berhati-hati untuk menjadi sales kurikulum. Itu patokannya.

Holiday Blues Seorang Guru

Banyak yang mengira bahwa guru punya jatah libur yang panjang. Padahal sekarang, guru saat libur semester masih banyak yang masuk untuk piket dan lain sebagainya.

Tapi sejatinya mereka tidak benar-benar libur, jika menengok kawan-kawan yang memang bersemangat menyiapkan semester baru yang dihadapi. Tapi saya tak mau jadi idealis, karena masih banyak juga guru yang libur ya libur tak mau memikirkan urusan administrasi sekolah.

Namun, apakah itu bentuk libur yang efektif untuk guru? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Jika itu efektif tentu ketika masuk semester baru, semangat baru dan menggebu. Bukan menjadi malas menghadapai rutinitas mengajar lagi.

Jika ternyata masih ada rasa malas, berat meninggalkan zona nyaman liburan berarti inilah Holiday Blues. Masih ada rasa mager, rasa malas jumpa dengan anak didiknya, malas mengerjakan administrasi pembelajaranya, malas juga merancang pembelajaran yang menyenangkan.

Meminimalisir Perasaan Holiday Blues Bagi Guru

1. Olahraga
Terdengar aneh dan tak nyambung. Tapi ini saya praktekan 2-3 kali seminggu saya selalu rutin melakukan stretching dan gerakan sederhana untuk membakar kalori tubuh. Sederhananya mengeluarkan keringat di sore hari atau pagi hari.

Hal ini membantu saya untuk lebih fresh. Baik kesegaran fisik maupun pikiran saya. Saya lebih fokus dan efisien dalam menyelesaikan tugas administrasi selama liburan. Hasilnya, tentu lebih baik dari apa yang saya harapkan.

2. Menghargai Kenangan
Momen interaksi dengan anak  dan teman-teman sejawat terkadang menjadi momen yang berharga. Saya coba untuk memanggil memori - memori membahagiakan tersebut untuk menyiapkan mental menghadapi hari pertama masuk setelah liburan.

Menghargai Kenangan memberikan dampak semangat untuk berinteraksi kembali secara fisik dengan anak didik. Bergurau dengan batasan yang ada pada hari pertama masuk menjadi momen yang berharga, tidak hanya untuk diri kita tapi juga untuk anak didik di kelas.

3. Ingat kembali Tujuan
Setiap proses pembelajaran pasti punya target yang harus dicapai. Bukan menjadi beban pikiran, tapi kita coba berpikir bahwa kita masih punya kesempatan menyampaikan pembelajaran kepada anak-anak.

Lebih - lebih lagi apabila Anda adalah guru yang dianggap menyenangkan bagi anak. Ada banyak hal yang harus dicapai oleh kita untuk mengantarkan mereka ke pintu gerbang pilihan hidup mereka.

Tujuan pembelajaran tidak melulu harus patokan Capaian Pembelajaran atau Kompetensi Dasar yanag harus dicapai secara administratif konsep kurikulum. Ada kalanya tujuan pembelajaran lebih bersifat abstrak dan psikologis ke anak.

Anak-anak mendapatkan pencerahan dalam menata pola pikirnya untuk menghadapi kerasnya hidup, itu juga bagian dari tujuan pembelajaran.

Karena setiap tujuan pembelajaran seyogyanya harus bisa dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan sehari- hari. Saya yakin ini malah sangat bermakna kepada anak didik. Hal ini saya yakinkan ke dalam diri saya sendiri. Sehingga apa yang kita sampaikan kepada anak didik, adalah sesuatu yang berharga dan bermakna untuk mereka. Ketika tidak bermakna untuk sekarang, harapannya untuk masa depan mereka.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca salah satu refleksi saya sebagai seorang guru menghadapi semester baru (genap) tahun 2024 ini. Semangat untuk para Guru Indonesia!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun