Tahun ini seluruh penjuru dunia tak bisa merayakan Idul Fitri dalam suka cita yang megah. Covid 19 memaksa kita semua stay at home, birokrasi "sementara waktu" terhenti, aktivitas bisnis juga terhenti. Walhasil perputaran ekonomi yang biasa mengiringi datangnya idul fitri terpaksa tak berjalan tahun ini.
Di kampung saya, Kuningan, Idul Fitri adalah momen kembalinya anak-anak perantau untuk sejenak membumi dengan tanah kelahirannya. Kesuksesan di tanah rantau tak berarti apa-tapa tanpa doa dan motivasi dari penduduk tanah kelahiran. Inilah alasan mengapa Idul Fitri tak boleh terlewat tanpa mudik.
Sebagai seorang ASN, saya pun begitu menyambut momen lebaran ini dengan sukacita. Inilah momen saya bisa kembali membumi, mengunjungi para sesepuh yang tak lelah memberi saya ilmu kearifan. Inilah momen saya bisa bertemu sahabat kecil yang dulu sama-sama "bandel". Dan sederet aktivitas lebaran sungguh sangat membuat hati saya terharu.
Dampak paling besar lebaran adalah kembalinya semangat saat kembali ke perantauan. Ada semangat baru, ada motivasi baru, ada cita-cita yang terbarukan. Momen lebaran benar-benar efektif me-recharge kehidupan menjadi lebih bersemangat, berwarna dan penuh rencana kebaikan. Bukan hanya oleh-oleh dibawa dari kampung, namun juga deretan nasihat dan kata-kata bijak untuk menjaga imunitas diri dari rongrongan pesimisme.
Itu dulu. Hari ini berbeda. Saya tak bisa mudik, tak bisa bertemu dengan keluarga, teman, para guru atau cerita gokil bertemu "mantan". Dari kejauhan saya sudah melihat betapa lesunya anak-anak karena tak bisa bermain di sungai dan kebun abahnya. Padahal ini sudah direncanakan jauh-jauh hari. Pun, saya ikut merasakan kepiluan karena tak bisa ikut keliling kampung mengikuti takbiran.
Lebaran tahun ini tak ada sayur cabe dan bekakak ayam kampung yang biasa kami nikmati pasca shalat ied. Tak ada pula pembagian uang buat para ponakan dan tetangga yang biasa dilakukan anak pertama kami. Begitulah, rasanya sangat-sangat sedih. Lebaran harus di Jakarta, tak boleh keluar.
Memenangkan Rindu vs Menenangkan Rindu
Dua hari yang lalu saya membaca kisah seorang laki-laki berjalan kaki dari Jakarta ke kampung halamannya karena tak ada kendaraan yang bisa mengantarkannya. 4 hari lamanya ia berjalan hingga sampailah di Kota Batang. Nasib pun tiba-tiba berubah, ia ditemukan oleh teman-teman sesama sopir bus pariwisata dan merekapun mengantarkan laki-laki itu ke kampung halamannya.
Banyak cerita "sedih" yang ditulis oleh orang-orang yang tak punya pilihan kecuali memilih mudik. Dilema memang. Jakarta bukan kota yang ramah, semua serba berbayar. Tak seperti di kampung, masih banyak kebun dan lahan yang bisa memberi vitamin. Dan itu kadang gratis. Tinggal di Jakarta dalam kondisi tak menghasilkan rupiah tentunya dilema besar bagi sebagian besar kita.
Seorang teman bercerita, bahwa ia sendiri tak menginginkan mudik. Ini pilihan berat, kang. Saya tak lagi bekerja, taka ada rupiah, sementara anak-anaknya di kampung tetap harus dicukupi kebutuhannya. Bagaimana saya bisa bertahan di perantauan tanpa kerja, sementara anak-anakku kelaparan dan rindu?
Mereka memenangkan rindunya demi orang-orang terkasih di kampung halaman. Maka ribuan ide ia gali agar bisa "lolos" dari pemeriksaan yang digelar pemerintah. Ada cerita tentang ongkos yang mencapai 5 kali lipat harga lebaran. Ada pula trik-trik aneh dan membahayakan hanya demi bisa sampai di kampung halaman. Sebagian tak beruntung, berhasil dicegah aparat dan dipaksa putar balik ke Jakarta.
Tidak ada yang salah secara penuh akan pilihan mereka. Namun tentunya tak juga bijak dalam kondisi tak menentu Covid 19 ini. Saya lebih memilih bahwa keduanya tak menemukan titik temu, hingga akhirnya salah satunya harus mengambil keputusan ekstrim: mudik dengan segala risikonya. Rindu yang menggunung dan kelaparan tak menemukan kesepakatan yang ideal.
Di pojok Jakarta Timur, saya menjumpai seorang teman yang tak mudik meski di rumah ada keluarga yang merindunya. Ia memilih untuk stay di Jakarta, di warung kecilnya, tetap berkomunikasi dengan keluarganya di kampung. Tidakkah merindu tanah kelahiranmu sobat?
Bohong kalau saya tak kangen, kang. Ini pilihan yang berat. Saya sadar anak-anak di kampung sangat rindu ayahnya, tapi saya juga sadar semua ini harus ada pengorbanan. Semua sedang menderita, semua harus berkorban. Itulah yang saya sampaikan ke keluarga. Alhamdulillah mereka paham.
Lagi pula Jakarta masih butuh dengan warung-warung kecil seperti punyaku ini, kang. Alhamdulillah setiap hari ada saja rizki yang datang, bahkan beberapa kali melebihi penghasilan di hari normal. Kasihan Jakarta jika tak ada warung yang buka. Secangkir kopi ini adalah teman setia orang Jakarta, harganya terjangkau. Setidaknya secangkir kopi seharga Rp. 4.000 ini bisa sejenak menenangkan kegundahan dan mengikis kekhawatiran.
Saya memilih untuk menenangkan rindu, kang.
Benar kata Dilan, rindu itu berat. Cukup aku yang merasaknnya. Di tengah heningnya Jakarta, saya masih melihat satu-dua warung kecil yang hanya berupa gerobak.Â
Ada deretan sopir taksi yang sedang menunggu takdirnya hari itu, mereka pun setia menikmati secangkir kopi murah. Kafein yang terkandung dalam kopi rupanya cukup efektif menghalau rindu yang memuncak, meski untuk sementara waktu.
Tak mudah bagi seseorang menahan rindu. Orang-orang terkasih akan terus hadir dan memanggilnya. Manusia tercipta bukan untuk sendiri. Manusia akan sangat tergantung pada rindu. Karena rindulah yang telah membuat kehidupan ini penuh warna. Tanpa rindu, mungkin takkan ada para pejuang rupiah yang rela meninggalkan tanah kelahirannya.
Birokrasi Tak Boleh Kalah
Saya pun tak tahu bagaimana harus mengelola emosi. Namun perjumpaan dengan orang-orang yang berhasil menenangkan rindunya membuat saya begitu tertampar. Mereka tak pernah tahu esok makan atau tidak. Penghasilannya sangat tergantung penjualan harian. Bagaimana bisa saya yang sudah digaji negara namun lebih khawatir dari mereka?
Saat emosi mulai menampakkan terkendali, saya pun berinisiatif menghubungi kawan-kawan sejawat di kantor. Saya ingin berbagi beban menuntaskan emosi negatif yang "hampir" membunuh lebih cepat.
Apa benar ASN juga banyak yang terdampak psikologisnya gegara Corona?
Benar. Covid 19 menampar banyak sisi, tak terkecuali para ASN. Bukan hanya kejenuhan tinggal di rumah, rindu akan aktivitas pekerjaan mungkin yang paling besar membuat emosi negatif sangat kuat merusak mood. Beberapa bahkan "hampir" masuk dalam jurang pesimistis.
Di antara beberapa sejawat yang saya hubungi ternyata memiliki kekhawatiran yang sama dengan saya. Haruskan birokrasi kalah dan mengalah hanya karena Covid 19?
Birokrasi akan kalah jika tak berdamai dengan corona. Birokrasi tak lagi bisa dijalankan dengan model lama sebelum corona menerjang. Harus ada terobosan-terobosan baru yang gokil atau out of the box agar birokrasi tetap bisa berlari menjangkau pelosok negeri.
Berdamai dengan corona berarti mencari cara baru menjalankan roda birokrasi tanpa mengusik corona. Kita harus mendesain birokrasi agar corona tak terganggu, sementara kita bisa tetap produktif melayani.
Kita sudah diingatkan perlunya roda birokrasi yang efektif dan efisien. Desain program dan anggaran didorong bermigrasi menuju layanan yang mudah diakses, cepat dan murah.Â
Kita sering diajarkan bagaimana bisnis transportasi online kini telah menjadi bahasa universal yang mendobrak ketabuan yang dibangun para kapitalis. Lihat, mereka berhasil menerobos batas-batas waktu dan strata sosial dan menciptakan peradaban baru yang lebih mereta.
Namun kadang kita bandel. Berkali-kali regulasi dan sosialisasi disusun, tentang reformasi birokrasi, tentang perubahan paradigma layanan, tentang pengelolaan birokrasi yang efektif. Beberapa dari kita acuh, tak terlalu merespon, merasa nyaman dengan pola yang telah mendarah daging.
Hingga datanglah suatu waktu di mana semua harus menjaga jarak. Pada titik inilah kita tersadar, betapa lemahnya sistem kita. Ada banyak layanan terhenti gegara corona, ada deretan program yang harus direlokasi menghindari cara penyebaran corona. Kita terkaget-kaget, bahkan sebagian kita dilanda kebingungan. Harus bagaimana birokrasi dijalankan di tengah corona?
Ini momentum untuk kita mereposisi birokrasi, kang. Begitu kalimat inspiratif dari sahabatku yang satu ini. Karena birokrasi tak boleh kalah.
Merespons The New Normal
Saya beruntung dapat menjumpai kawan-kawan sejawat yang memiliki kesamaan semangat. Lalu pertanyaan lanjutannya, bagaimana konsep birokrasi ke depan?
Ada banyak ide yang berkembang dari beberapa kali perbincangan grup sobat-sobat ambyar, begitu biasa kami memulai diskusi. Maklum, kami ini pernah disatukan oleh Om Dedi Kempot dalam satu suasana batin yang sama.
Ada tiga poin penting bagaimana birokrasi merespon the new normal ini. Pertama, reposisi struktur dan program. Struktur birokrasi dan program harus dikembalikan pada tempatnya masing-masing.Â
Dalam konteks ini, struktur harus kembali pada desain program yang telah disusun dalam Rencana Strategis (Renstra). Renstra sendiri merupakan dokumen 5 tahunan yang memuat target dan langkah-langkah merealisasikan target. Jadi, birokrasi harus kembali pada khittah-nya sebagai pihak yang menjalankan amanah renstra.
Kedua, menyiapkan desain operasional pengelolaan birokrasi yang berdampingan dengan corona. Ini artinya ada migrasi pola pengelolaan dari model lama ke model baru. Contoh sederhana adalah kegiatan sosialisasi dan pembinaan yang dahulu dilakukan secara tatap muka di hotel atau auditorium, maka kini dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi seperti YouTube dan lain-lain.
Ketiga, menyiapkan infrastruktur sebagai penunjang roda birokrasi. Server, aplikasi, content creator, video grafis, dan sejenisnya akan menjadi bahas umum yang terdengar di pojok-pojok birokrasi. ASN dapat dilatih untuk menjadi bagian dari bahasa umum tersebut. Para ASN bisa dilatih menjadi content creator atau pembuat infografis.
Keempat, partisipasi publik. Ini menjadi kunci utama keberhasilan The New Normal dalam birokrasi. Birokrasi perlu menarik publik medsos, YouTuber, selebgram, vlogger, blogger dan lainnya untuk menjadi mitra strategis. Mereka digandeng untuk sosialisasi program misalnya, sebagai jembatan informasi kepada publik.
Pada akhirnya Idul Fitri tetaplah spesial. Tak ada yang berkurang dengan Idul Fitri tahun ini. Semangat itu ternyata tetap saya temukan melalui silaturahim virtual. Ada banyak orang yang saya jumpai melalui fasilitas virtual. Ada banyak inspirasi yang bisa saya bawa pulang dan memberi dampak besar untuk tetap optimis di tengah Covid 19 yang entah kapan akan berakhir.
Idul Fitri tetaplah suci bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka yang tak pernah takut bermimpi tentang kebaikan-kebaikan di masa depan, mereka yang tak lelah berbagi ide, mereka yang tak henti membagikan cinta kepada siapapun yang dijumpainya.
Selamat Idul Fitri 1414 H/2020. Minal Aidin Walfaizin, mohon Maaf Lahir dan batin.
Pamulang, 1 Syawwal 1441 H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI