Mohon tunggu...
Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan siapa-siapa. Hanya seorang penulis. Blog saya yang lain: http://berbual.com http://budayajepang.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Wisudawan

29 September 2015   08:00 Diperbarui: 29 September 2015   08:08 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu momen yang membuat saya bangga sebagai alumni UGM adalah ketika Sensei (profesor pembimbing) datang kepada saya dan berkata, “Grup riset kita diberi jatah untuk mendatangkan mahasiswa asing dengan beasiswa Monbusho. Kita diberi wewenang untuk memilih siapa saja yang kita anggap pantas dan layak. Seleksi di universitas hanyalah formalitas. Saya limpahkan wewenang itu kepada kamu, dan saya minta kamu memilih alumni UGM untuk kita undang. Ya, alumni UGM seperti kamu. Saya ingin lebih banyak lagi pekerja keras seperti kamu di grup kita.” Sebagai respon, saya kontak adik kelas saya di FMIPA UGM, kemudian dia memenuhi undangan kami. Kini dia sudah selesai kuliah di program doktor dan menjadi dosen di suatu PTN di Jawa Tengah.

Saat itu saya sudah lulus program doktor dan bekerja sebagai visiting researcher di bawah bimbingan Sensei, di Kumamoto University, Jepang. Saat itu sudah enam tahun lebih saya berinteraksi dengan beliau. Masa yang cukup panjang. Saat itu adalah titik diametral bila dibandingkan dengan saat saya pertama kali bertemu untuk mulai kerja riset di bawah bimbingan Sensei.

Kata-kata Sensei yang pertama saya dengar setelah kami berbasa-basi berkenalan adalah, “Tolong kamu kerja keras di sini. Jangan bawa-bawa budaya tropis kamu ke sini.”

“Maksud Sensei bagaimana? Budaya tropis itu apa?” tanya saya tak paham.

“Kalian orang-orang tropis itu kan pemalas. Makanya kalian tertinggal. Lihat kami orang Jepang, Korea, dan Cina. Apa yang kamu lihat di depanmu saat ini, kemajuan ekonomi dan teknologi, semua ini tidak gratis. Kami memperolehnya dengan kerja keras. Tirulah cara kerja kami.”

Tentu saja saya tersinggung dengan ucapan itu. Tapi saya memilih diam. Karena saya tahu, percuma berdebat dengan kata-kata. Perbuatan akan lebih meyakinkan. Maka saya tunjukkan kepada Sensei bahwa saya bukan pemalas. Butuh waktu yang panjang ketika akhirnya dia mengakui kerja keras saya. Dan dia tidak hanya melihat saya sebagai sosok pribadi. Dia memandang saya sebagai alumni UGM. Bahkan, dia memandang saya sebagai orang Indonesia. Kehadiran saya teleh mengubah pandangan Sensei tentang orang Indonesia.

Situasi yang saya hadapi saat pertama kali bertemu Sensei mungkin akan dihadapi oleh banyak orang saat akan mulai sesuatu. Termasuk di antaranya yang baru lulus. Lalu mereka akan menempuh perjalanan untuk membuktikan diri, sampai mendapat pengakuan. Ada yang butuh waktu sangat lama, ada yang lebih singkat. Tapi apapun juga, hanya pekerja keras dan pantang menyerah yang bisa lolos dari tantangan ini.

Kerja keras. Hanya itulah yang saya miliki saat itu. Kebetulan saya bukan mahasiswa yang sangat cerdas. Saya bukan orang brilliant. Menariknya, dalam kultur Jepang tata krama dan kerja keras lebih dihargai ketimbang kecerdasan belaka. Kerja riset itu sendiri, di samping membutuhkan kecerdasan, juga membutuhkan kreativitas. Tapi di atas itu semua, kerja keras memang paling menentukan.

Beberapa bagian dari kerja riset itu mirip kerja rodi. Saya misalnya bekerja dengan alat yang disebut diamond anvil cell, yang mengharuskan saya menempatkan sampel di dalam ruang berdiameter kurang dari 0.3 mm. Di situ kecerdasan tak banyak berperan. Hanya ketekunanlah yang berarti. Berbulan-bulan melatih tangan, barulah hal itu bisa dilaksanakan. Periset lainpun begitu. Ada yang menghabiskan waktu berhari-hari kerja nyaris tanpa henti untuk menumbuhkan kristal. Tidur di laboratorium, makan dan istirahat seadanya adalah hal yang biasa. Tak ada orang lain yang bisa disuruh untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan “sepele” itu. Peneliti sendiri yang harus melakukannya. Justru di situlah kunci sukses seorang peneliti. “Kenkyusha no ude”, hasil kerja tangan setiap peneliti, itulah yang membedakan hasil riset pada akhirnya. Data atau produk yang tak bisa dihasilkan oleh peneliti lain, bisa kita capai. Dalam hal itu intelejensi saja tidak cukup. Kerja keras secara fisik berperan cukup penting. Hasil kerja keras itulah yang secara perlahan mengubah pandangan Sensei tentang saya.

Ada hal lain lagi, yang juga tak terkait banyak dengan intelejensi, yaitu soal jaringan. Suatu hari kami pergi menghadiri seminar di luar kota (Hiroshima). Waktu itu karena saya baru beberapa bulan di Jepang, Sensei mengatur semua hal, termasuk reservasi hotel. Ternyata ketika saya hendak check in di hotel itu, nama saya tidak terdaftar, dan hotel sedang penuh. Melalui pengurus PPI saya cari orang Indonesia yang sedang belajar di kota tersebut dengan maksud minta dipandu mencari penginapan. Tapi akhirnya saya malah diajak menginap di apartemen teman baru tadi. Ketika mendengar pengalaman saya, Sensei geleng-geleng. “Network kalian orang Indonesia, luar biasa.” pujinya. Tidak cuma sekali itu. Di lain waktu, usai seminar di Tsukuba Sensei meminta saya memanggil taksi.

“Tidak perlu Sensei, saya bawa mobil.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun