Pasca selesainya debat perdana Capres 2024 tadi malam, berbagai platform media sosial banyak dipenuhi perbincangan para pendukung seputar penampilan para jagoannya. Masing-masing menganggap, kandidat yang didukung telah tampil apik dan menarik dalam menyampaikan gagasan dan argumentasinya, sementara lawan-lawannya tampak gugup dan belunder dalam menyampaikan argumentasi. Ya, gambaran penilaian subjektif semacam itu yang kini ramai ditemui dan banyak terlontar dari para pendukung.
Jika dirunut lebih serius, tren dalam memberikan penilaian yang positif terhadap orang yang disukai dan penilaian sebaliknya terhadap orang yang kurang disukai merupakan fenomena psikologis yang cukup umum.
Setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memotret fenomena ini. Pertama, apa yang disebut dengan halo effect. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Edward L. Thorndike pada tahun 19201. Menurut konsep psikologi, halo effect merujuk pada fenomena kecenderungan membuat penilaian umum tentang seseorang berdasarkan satu aspek yang dilihat dan selanjutnya mempengaruhi penilaian terhadap karakteristik lain. Hal ini menyebabkan persepsi keseluruhan kita terhadap orang tersebut menjadi bias, tidak objektif dan kurang proporsional.
saya teringat dengan pepatah Arab yang dinisbatkan kepada Imam Syafi`i, yang saya kira, dapat merepresentasikan fenomena Halo Effect ini. Beliau menyatakan:
##
Rasa cinta menutup segala cela, begitupula rasa benci dan tak suka, akan menampakkan segala aib nan keji"
Kedua, bias konfirmasi; yaitu kecenderungan untuk mencari, mengingat, dan memberi lebih banyak perhatian pada informasi yang mendukung keyakinan atau pandangan yang sudah dimiliki, serta mengabaikan atau mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan tersebut.
Dalam hal ini, para pendukung Capres-Cawapres tertentu akan pasti cenderung mengonfirmasi dan memperkuat pandangan mereka sendiri dengan memperkuat dan selalui mengeksplorasi bukti-bukti akan kebaikan dan keunggalan yang ada pada kandidat yang didukungnya, dan kurang membuka diri terhadap informasi baru terhadap pandangan yang berbeda.
Pada konteks Debat Capres tadi malam, para pendukung masing-masing pasangan sebagai kaum yang telah memiliki stereotip tertentu tentang pasangan capresnya, pasti lebih cenderung mencari momentum positif yang dianggap sebagai keunggulan jagoannya saat debat tadi malam. Hal ini nantinya dapat memperkuat stereotip mereka, sementara di sisi lain mereka akan mengabaikan contoh yang tidak sesuai.
Sehingga jangan heran, jika pasca debat ini akan banyak bermunculan potongan-potongan video hasil kreasi oleh pihak tertentu, yang selanjutnya diframing sebagai bukti keunggulan jagoannya, dan kelemahan kandidat lain.
Mengacu pada beberapa fenomena di atas, hingga saat ini secara pribadi saya masih yakin, debat Capres-Cawapres ini tidak akan berpengaruh secara signifikan terdapa pembentukan opini publik secara umum, bahkan terhadap kalangan yang katanya masih abu-abu.
Untuk itu, secara pribadi saya hanya berharap semoga saja semua pendukung masing-masing kandidat untuk mendukung jagoannya dengan lebih objektif dan tanpa perlu merendahkan kandidat yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H