Mohon tunggu...
Buhori
Buhori Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Pendidikan

Saya seorang yang sangat menyukai acara-acara humor bahkan sering menongkrongi konten-konten humor sampai berjam-jam, sehingga konten-konten ini sangat mempengaruhi saya untuk menjadi orang yang humoris, tertawa bersama bahkan sampai mentertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Haul Alm. Kh. Abdul Hannan As`Ad Ke-24: Mengenang Sang Murobbi

2 Mei 2023   21:59 Diperbarui: 2 Mei 2023   22:02 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KH.Abdul Hannan As`ad merupakan putra dari KH. As`ad Ismail dan Ibu Nyai Hj. Siti Atiyah, pendiri sekaligus pengasuh pertama Pondok Pesantren Miftahul Ulum Ganjaran Malang. Selepas wafatnya KH. As`ad, beliau melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren sebagai pengasuh Pesantren Miftahul Ulum, bersama KH.KHolili Nawawi, yang juga sebagai kakak iparnya.

Pengembaraan keilmuan beliau awali dari bimbingan ayahandanya, dan selanjutnya banyak menghabiskan waktu mudanya untuk menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan. Kendatipun sebagai lulusan pesantren salaf dan tidak pernah mengenyam pendidikan di level perguruan tinggi, beliau terkenal sebagai sosok kiyai yang visioner dan berfikiran progresif. Menurutnya, para santri saat ini tidak cukup hanya berbekal pengetahuan salaf ansich, namun perlu juga dilengkapi dengan berbagai keterampilan dan skill lain yang diperlukan pada masanya. Beliau sering mengingatkan kepada para santri bahwa generasi kedepan memiliki kebutuhan dan tantangan yang berbeda dengan kondisi saat ini, oleh sebab generasi saat ini perlu untuk mempersiapkannya.

KH.Hamim Khalili (Ketua PCNU Kab. Malang saat ini) yang notabene merupakan keponakan beliau, pernah menuturkan berkat dorongan dan motivasi pamannya ini lah beliau melanjutkan dan menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, selepas lulus dari pesantren Ploso dan Kwagean Kediri.

KH. Abdul Hannan juga dikenal sebagai kiyai yang berwiraswasta dan mandiri secara ekonomi. Seingat saya, beliau memiliki berbagai unit usaha, seperti mesin selep padi dan jagung, usaha ternak sapi perah, perkebunan tebu dan berbagai jenis pertanian lainnya. Dalam hal ini beliau sering berpesan kepada para santrinya; _"jadi kiyai, jadi ustadz itu harus mandiri secara ekonomi, punya usaha, jangan sampai hanya mengharapkan "salliman" dari para santri dan wali santri"_. Kira-kira pesan ini yang pernah saya tangkap dan saya ingat hingga saat ini dari "dawuh-dawuh" beliau.

Secara pribadi, saya tidak lama  mulazamah bersama beliau, tidak sampai genap dua tahun. Sehingga tidak banyak pengalaman yang saya peroleh. Saat awal-awal nyantri, saya mengaji al-Qur`an langsung di bawah asuhan beliau. Dalam mengajar tahsin al-Qur`an ini, beliau terbilang ketat dan begitu teliti. Seingat saya, proses tahsin surat Al-Fatihah saja saya jalani dalam kisaran tiga bulanan. Ada juga beberapa santri lain yang menjalaninya lebih lama bahkan ada yang sampai 1 tahun. Belakangan baru saya sadari hikmahnya, begitu pentingnya ketepatan dalam membaca Al-Fatihah, sebab surat ini akan selalu dibaca berulang-ulang setiap saat oleh setiap muslim dan menjadi barometer kemahiran dalam membaca Al-Qur`an.

Selain mengaji Al-Qur`an, saya juga pernah mengaji beberapa kitab langsung kepada beliau, seperti Pengajian Kitab Fathul Mu`in; yang wajib diikuti oleh seluruh santri setelah shalat Subuh sampai pukul 07.00 istiwa`, Kitab Iqna` dan Fathul Wahhab, selepasi Isya`, Kitab Risalatu al-Mu`awanah, Mukhtar al-Ahdits, dan beberapa kitab lainnya yang dibaca pada saat khataman bulan Ramadhan.

Beliau juga terkenal alim dalam bidang gramatika Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharraf dan juga Balaghah. Beliau memiliki karya berupa syarah Nadzam Alfiyah dengan uraian-uraian rinci yang dilengkapi dengan skema atau bagan-bagan yang dapat mempermudah pembaca dan santri dalam memahaminya. Karya ini beliau tulis dalam empat jilid dan menjadi buku ajar materi ilmu Nahwu tingkat `ulya di Pesantren Miftahul Ulum. Sayangnya, saya belum sempat belajar ragam gramatika ini secara langsung kepada beliau, sebab saat itu saya masih berstatus santri junior di kelas dasar yang baru mulai mempelajari materi-materi gramatika dasar kepada para ustadz-ustadz pesantren.

Berkaitan dengan urgensi "ilmu alat" ini beliau pernah menjelaskan; "untuk mampu membaca dan memahami kitab kuning itu, kuncinya ada tiga; Ilmu Nahwu, untuk dapat membaca, ilmu Sharraf untuk dapat menerjemahkan dengan baik, dan ilmu Balaghah mahir dalam bidang sastra Arab.

Beliau juga sering berpesan kepada para santri; "Jek dumunduh engak merok, masok-tak masok, keluar tak keluar" (jangan jadi seperti ingus, tidak masuk tidak juga keluar). Dalam petuah ini beliau mengingatkan kepada para santrinya; untuk menjadi orang yang sukses, bermanfaat secara luas, kuncinya harus jadi orang yang professional, tidak setengah-setengah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam persoalan ataupun profesi yang dilakoni.

PERHATIAN SANG MUROBBI SETELAH KEWAFATANNYA

Masih lekat dalam ingatan saya, memasuki liburan pesantren pada bulan Ramadhan 1419 H, saya berniat izin, pamitan kepada beliau untuk pergi ke Madura, guna silaturrahim dan pertama kalinya berkunjung ke Pulau garam. Sebelum berangkat, saya bersama dua teman yang lain, diminta oleh beliau untuk membantu menjemur gabah dan jagung di pelataran selepan. Sampai kisaran pukul sepuluh pagi, barulah saya sowan ke dalem, pamitan ke beliau untuk berangkat ke Madura. Saat itu beliau memberikan izin dan dawuh kepada saya; "iyeh, mander selametteh" (ia, semoga selamat). Sebagai santri, saya yakin betul bahwa perjalanan saya akan baik-baik saja dan selamat sampai kembali lagi ke pesantren, berkat do`a sang guru ini.

Tak dinyana, pertemuan itu menjadi pertemuan terkahir saya bersama beliau di kehidupan dunia ini. Beliau wafat, menghadap sang ilahi setelah shalat Jum`at, 11 syawwal 1419 H/ 28 Januari 1999 M, sementara saya baru kembali ke pesantren esok harinya, Sabtu 12 Syawwal 1419 H.

Secara pribadi saya meyakini bahwa perhatian seorang guru sejati kepada santrinya tidak akan pernah lekang oleh waktu, kendatipun beliau telah dipanggil oleh sang ilahi. Banyak pengalaman-pengalaman pribadi yang saya rasakan, termasuk juga banyak santri dan alumni yang lain, yang mengindikasikan "kehadiran" dan perhatian yang beliau berikan. Tentu hal ini sangat bersifat subjektif dan tidak dapat diceritakan secara rinci dalam tulisan ini.

Di antara pengalaman pribadi dan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi saya adalah perjumpaan dengan beliau, sekalipun di alam mimpi. Seingat saya, dulu sejak saya boyong, kemudian lanjut studi S1 di Pontianak, kerap kali saya bermimpi "nyantri" kembali kepada beliau, dan seakan beliau masih tetap ada dan menjadi pengasuh pensatren. Ternyata di belakang waktu isyarat itu "menjadi nyata". Tahun 2009-2011 saya kembali lagi mengenyam pendidikan di Malang dan tinggal di Desa Ganjaran, dan saat ini, tepatnya sejak November 2022 yang lalu, saya kembali lagi ke Kota yang sama untuk melanjutkan studi dan "nyantri lagi kepada beliau".

Terakhir, tak lama sekembali dari Malang, selepas menyelesaikan studi S2 di sana, tepatnya pada tahun 2011, saya memperoleh pengalaman pribadi yang selalu saya ingat. Suatu pagi, saya baru saja terlelap dalam tidur, tiba-tiba beliau hadir ke hadapan saya dan minta diperlihatkan ijazah dan transkrip nilai saya. Setelah melihat dan mengamatinya, beliau dawuh kepada saya; "iyeh, terros agi" (iya, terus lanjutkan). Seketika saya kaget dan terbangun dari tidur. Kala itu, dalam hati saya meyakini bahwa beliau memberikan amanah kepada ku untuk terus lanjut studi ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karenanya, saya belum berani menuliskan atau menceritakan hal ini kepada siapapun selama bertahun-tahun dan hanya menjadikan komitmen dalam diri, sebelum menjalankan amanah ini, hingga akhirnya saya baru bisa menjalankan amanah yang beliau "dawuh" kan ini sejak beberapa bulan yang lalu.

Pada Haul ke 24 kali ini, kami berharap dapat selalu meneladani kehidupan beliau, dan diakui sebagai santrinya dan semoga kelak di akhirat dibangkitkan kembali bersama beliau dalam kelompok orang-orang yang shalih yang dikasihi Allah SWT Rubbul Izzah. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun