Oleh: Buhori
Pada suatu kesempatan, saya terlibat perbincangan ringan dengan beberapa ustadz yang hadir pada saat itu. Salah satu topik yang dibicarakan adalah kalimat yang lazim dibaca oleh sebagian kiyai-kiyai kampung sebelum pembacaan kalimat tahlil,-pada saat tahlil-an, yaitu kalimat :
 لا إله الا الله ØÙŠ موجود
Penyematan kata yang dinisbatkan kepada Allah dalam ungkapan ini, -menurut pandangannya- merupakan kekeliruan yang fatal dan dapat menyebabkan pada kekufuran. Hal itu disebabkan kata "maujud" secara literal bermakna "diadakan", yang berarti menghendaki adanya pihak yang "mengadakan". Jika kata ini disifatkan kepada Allah SWT, jelas dapat menjerumuskan pada kekufuran yang nyata.
Disebabkan waktu perbincangan yang cukup terbatas, pada saat itu saya hanya menanggapi bahwa persoalan semacam ini tidak cukup dengan pendekatan linguistik semata, namun juga perlu melakukan penelusuran pada teks-teks hadis yang kemungkinan menggunakan term tersebut, atau ulasan ulama salaf yang pernah menguraikannya dengan pendekatan yang lebih komprehensif.
Pagi ini, kebetulan bertepatan dengan hari libur, saya mencoba melakukan pelacakan ke beberapa literatur. Dari hasil penelusuran terhadap beberapa referensi yang cukup terbatas, saya temukan beberapa penjelasan sebagai berikut:
Secara etimologi, lafaz merupakan bentuk isim maf'ul dari kata kerja وجد – يجد – وجودا – وجدا – واجد – موجود. Kata ini merupakan bagian dari af'al al-qulub (pekerjaan hati). Dalam kamus al-maany term "maujud" dari perspektif tasawuf dan filsafat diartikan sebagai "sesutau yang tetap dalam hati dan dalam hakikat/kenyataan" (at-Tsabitu fi adz-Dzihni wa fi al-Haqiqah).
Sedangkan dalam Mu'jam Ar-Raid kata ini diartikan sebagai sesuatu yang hadir, hasil, tidak bersifat tiada ('adam).Â
Dengan demikian, dari sisi terminologis, term "maujud" tidak selamanya menghendaki adanya pihak yang "mengadakan", selain itu, kata ini kerap dilawankan dengan kata (tiada) dan  (yang ditiadakan).
Imam al-Baqillani (338 -- 403H), salah seorang ulama besar bermadzhab Asy'ariy, dalam kitab al-Inshaf memberikanÂ
penjelasan yang lebih komplit. Beliau menguraikan: