Mohon tunggu...
Buhori
Buhori Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati Pendidikan

Saya seorang yang sangat menyukai acara-acara humor bahkan sering menongkrongi konten-konten humor sampai berjam-jam, sehingga konten-konten ini sangat mempengaruhi saya untuk menjadi orang yang humoris, tertawa bersama bahkan sampai mentertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bolehkah Meng-Isbatkan Kata "Maujud" Kepada Allah swt. ?

1 Februari 2023   13:21 Diperbarui: 1 Februari 2023   13:34 7345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tidak hanya dua ulama besar di atas, Imam Al-Ghazali (450- 505 H) sebagai salah satu pioner di kalangan Asya'irah, juga kerap menggunakan kata "maujud" dalam kontkes ikhbar tentang Allah swt. Hal ini misalnya dapat ditemui dalam al-Iqtishad fi al-I'tiqad berikut:

ونحقق عندهم أنه موجود ليس كمثله شيء، وهو السميع البصير (ص. 16)

"Kami tegaskan kepada mereka bahwa Dia (Allah swt) adalah dzat yang "mauju>d", tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah dzat yang Maha mendengar lagi maha melihat".

هو أنا نقول أن الباري سبحانه موجود وذات، وله ثبوت وحقيقة، وإنما يخالف سائر الموجودات في استحالة كونه حادثاً أو موصوفاً بما يدل على الحدوث (ص. 19)

Kami katakan bahwa Allah swt. Maujud, dzat, bagi-Nya tsubu>t (ketetapan) dan hakikat, Ia berbeda dengan segala sesuatu yang ada dalam hal kebaharuan atau yang memiliki sifat yang menunjukkan kebaharuan (huduts).

Untuk memberikan batasan yang jelas tentang asma' dan sifat-sifat bagi Allah swt., Ibnu Qoyyimi al-Jauziy (691-751), seorang ulama besar dari Madzhab Hanbali, dan murid dari Ibnu Taymiyyah dan al-Harawi, memberikan penjelasannya dalam Kitab Faidah Jali>lah fi Qawaidi al-Asma' wa As-Shifat : 

أنّ ما يطلق عليه في باب الأسماء والصفات توقيفيٌ، وما يطلق عليه في باب الإخبار لا يجب أن يكون توقيفيًا؛ كالقديم والشيء والموجود والقائم بنفسه (ص. 25)

Sesuatu yang dimaksudkan merujuk kepada Allah dalam bab Asma' (nama-nama) dan sifat semuanya bersifat Tauqifi (berdasarkan petunjuk langsung dari nabi), sedangkan dalam kontkes ikhba>r (pemberitahuan/penjelasan) tidak diharuskan tauqifi, seperti kata Qadim, syai', maujud, dan qa'imun binafsihi.

Mengacu pada ulasan panjang di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa klausa "La ilaha illa Allah Hayyun Maujud" masih dapat dibenarkan dari aspek makna dan akidah. Ucapan itu tidak berimplikasi pada penafian Allah swt sebagai dzat yang wujud, dan tidak pula bermakna sebagai dzat yang "diadakan" atau diwujudkan yang menghendaki adanya pihak lain yang mengadakan. Ungkapan tersebut tepatnya menegaskan bahwa Allah swt. adalah dzat yang Maha Hidup, wujud, ada dan mustahil tiada.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun