Indonesia adalah negara yang subur, semua jenis tumbuhan bisa tumbuh dan berbuah, jangankan sengaja ditanam tanpa sengaja ditanam pun banyak pepohonan tumbuh besar. Apapun yang diinginkan dari jenis tumbuhan semua pasti ada.
Ketika kita memasuki sebuah perkebunan akan kita dapatkan berbagai macam tumbuhan yang berbuah dengan aneka macam buahnya, kita tinggal piliha buah mana yang kita suka.
Gambaran tersebut sebagai suatu gambaran akan pola pikir dan pendapat yang kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Rambut sama hitam kepala sama tinggi duduk sama rendah tetapi pendapat pasti akan berbeda-beda. Perbedaan tersebut yang akan membuat harmoni kehidupan menjadi terjaga manakala disikapi dengan dewasa dan pikiran yang tenang.
Begitupun dalam
pemikiran Islam, baik pemikiran aspek teologi apalagi syariat pastinya akan kita temukan ragam corak pendapat. Keragaman corak pemikiran dan pendapat tersebut tidak tidak lepas dari kondisi, situasi, dan waktu serta tempat tempat.Ketika dihadapkan pada ragam pendapat dan pemikiran, hendaknya kita jangan gagap apalagi reaktif, bahwa pendapat yang tidak sejalan dengan pendapat kita pendapat tersebut pendapat yang salah bahkan sesat, ini sangat berbahaya.
Ulama-ulama dahulu biasa-biasa aja belajar kepada orang yang berbeda mazhab dengan mereka, bahkan beda agama.Â
Dahulu, syaikh Abdul Qahir Jurjani, peletak ilmu Balaghah yang berakidah Asyari itu belajar kepada syaikh Abu Ali Alfarisi, seorang ulama Lughah yang berakidah Syiah. Saya bertanya ke syaikh Fauzi Konate soal ke-syiah-an Abu Ali Alfarisi, syaikh Fauzi menyatakan benar beliau adalah syiah, tapi syiah yang Imamiyah. Bahkan Al-Farabi dulu belajar kepada Yunus Bin Mata, Filsuf Kristen.Â
Dulu, Khawajah Nashiruddin al-Thusi, ulama, dokter, filsuf, astronom yang bermazhab Syiah belajar kepada Al-Abhari, murid Fakhruddin Razi yang bermazhab sunni. Khawajah Nashiruddin al-Thusi juga guru bagi ulama-ulama besar ahlussunnah waljamaah, seperti Quthbuddin Syirazi, Al-Katibi.Â
Taj Subki dulu belajar ke Al-Zahabi, murid Ibnu Taimiyah, padahal kedua mazhab mereka beda.Â
Dari dulu ulama mengajarkan tidak fanatik, meskipun mereka beda mazhab bahkan agama.Â
Orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi dalam fan tertentu, ya dijadikan guru, meski beda mazhab. Mereka biasa aja melihat perbedaan. Gak kagetan.Â
Ada beberapa orang Indonesia, jangankan melihat yang beda mazhab atau agama, kadang gara-gara hanya beda ormas saja, dipermasalahkan dan dilarang untuk beristifadah kepadanya.Â
Sangat rugi sekali kita, jika tidak ingin beristifadah kepada seseorang hanya karena beda mazhab ataupun aliran. Rugi sekali kita jika tidak membaca kitab Nahjul Balaghah, kumpulan hikmah sayyidina Ali, hanya gara-gara yang mengumpulkan adalah ulama Syiah, Syarif Radhi.Â
Alangkah rugi sekali kita, jika hanya karena Jahid adalah seorang Mu'tazilah, kita tidak mau membaca karya-karya sastranya yang indah. Ilmu tidak terikat oleh mazhab dan ormas, gaes.Â
Alhamdulillah di pondok pesantren YAPI Bangil , santri-santrinya diajarkan untuk menghargai karya siapapun meski boleh jadi tidak sesuai dengan ajaran sang guru besar Habib Husain Al-Habsy, makanya meski banyak orang menyangka bahwa Pesantren YAPI Bangil adalah pesantren Syi'ah tapi ketika penulis mondok di YAPI sholat keseharian memakai sholat madzhab Syafi'i yah bukan Syi'ah.
Begitupun ketika penulis kuliah jurusan Tafsir Hadits IAIN "SGD" Bandung dibiasakan mempelajari kitab-kitab tafsir dari beragama Mazhab, bahkan penulis menulis skripsi dengan Judul :
Manusia Dalam Tinjauan Tafsir Fi Zdilalil Qur'an : Sebuah Koreksi Terhadap Teori Darwin.
Jika kita masih fanatik dengan mazhab, ormas atau apapun itu dalam mempelajari ilmu, jangan salahkan kalau kita akan selalu terbelakang setiap saat.Â
SekianÂ
Penulis :Â
Mihdar Ketua Poktan BUTA (Bumi Tani Anugerah) dan Owner Rumah Makan BEBEK HAJI MIHDARÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H