“Sudah berapa tahun tangan-tangan asing yang membawa modal dari negara asal mereka, yang katanya' bisa saling menguntungkan satu sama lain'. Ingat, itu katanya. Tidak sedikit orang-orang negeri sendir yang diperalat untuk menjadi boneka bagi mereka. Memanfaatkan ujung nama yang berujung huruf 'o', mereka seperti leluasa untuk menyedot benih-benih harta negara (yang katanya) dicintai ini.”
Mataku terhenti pada halaman pertama surat kabar harian asrama yang sebertinya sudah kucel karena tangan-tangan yang haus akan berita nasional, menarik-nariknya saat fajar baru saja menyinsing.
Awalnya aku hanya acuh. Aku lebih terfokus dengan dengkuran perutku sejak beberapa menit lalu. Aku bergegas meraih piring yang telah terisi banyak nasi goreng. Melahapnya bagai baru menjumpainya pertama kali. Suara denting sendok beradu-beradu dengan permukaan piring, memberikan suasana riuh ruang tamu yang mulai senyap dari bunyi para karib dan seniorku yang mengaji.
Tak selanag beberapa menit kau telah membanting piring. Kosong. Tak ada secuil nasi [un. Kecuali tumpukan sayur di salah ujung piring.
Setelah acara sarapan pagi siap, semua sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sibuk berkaca. Memperbaiki potongan rambut yang sedikit awut-awutan. Ada yang berdiri menatap salah satu gunung terbesar tanah sunda seraya menikmati semeriwing angin. Nah, ada juga. Seperti yang telah ku katakan tadi. Ada yang sibuk tarik menarik surat kabar. Hingga ia terlihat kucel karerna genggaman keras sepasang pria masa transisi.
Dengan santainya, aku menarik halaman pertama surat kabar. Aku membentangkannya lurus dengan badanku. Aku terdiam. Sedikit tercekat. Sebuah judul berita yang tak berfoto memberiku halusinasi tentang kedamaina dan kesejahteraan negeri kembali.
Sebuah perusahaan mengajukan perpanjangan kontrak. Itu judul berita itu. Berita yang sedikit mengelitikku setelah selesai membacanya. Isi berita itu ada lah tentang sebuah perusahaan asing sepuh yang ingin memperpanjang kontraknya dengan pemerintah. Padahal, dari berita itu, kontrak perusahaan itu masih ada sekitar enam tahun lagi.
Salah satu pucuk pimpinan cabang dalam negeri memberi komentar yang menyatakan mereka akan memperpanjang kontrak dua kali dekade. Itu mengartikan hingga 4 tahun sebelum ulang tahun indonesia yang ke-100, ia ingin tetap menanam modal saling menguntungkannya di nergeri ini.
Nah, sahabat pembaca, kita sudah tahu bukan. Bahwa di luar sana tidak selamanya suatu negara atau institusi aman dari giuran orang-orang asing. Pasti ada saja aroma amplop yang memaksa keluar dari saku celana orang-orang luar negeri yang necis. Nah, sekarang kita hanya bisa berdo'a dan menunggu. Apakah pemerintah baru akan siap mengalirkan liur saat menatap amplop dari saku necis mereka?
rizkygustamaa.wordpress.com
6 January, 2015