Pantai Maruni sore itu mendung, sepertinya hujan akan turun  setelah 7 bulan tidak terjamah air hujan.
Pantai Maruni Kurang lebih 20 kilometer dari ibu kota Manokwari, Papua Barat. Pantai ini yang di tawarkan Pak Lukman kepada Mr.Fred, ketika ia mengajak berpetualang meneliti aneka flora dan fauna. Pantai landai yang di penuhi batu kuarsa hitam dengan air yang jernih, menjadikan siapapun yang mengunjunginya akan lupa untuk pulang, jalan bergeronjal yang membentang dari kota sampai ke bibir pantai seperti terbayar lunas .
Bukan tanpa alasan, semenjak lulus SMA, tepatnya 28 tahun lalu Lukman tidak pernah lagi menjelajahi obyek wisata di Papua. Pulang ke Manokwari pun tiga tahun belum pasti. Prita dan Kevin adalah oleh-oleh untuk ibunya setelah merantau ke Jakarta dan bekerja di Balai Karantina.
"Lukman, dimana makam ayahmu?" tanya Mr.Fred di sela perjalanan pulang.
Insting Mr. Fred memang tajam, ayah Lukman memang di makamkan di hutan konservasi menuju pantai Maruni. Hidup ayah Lukman memang di dedikasikan untuk alam, matipun tidak ingin jauh dari alam. Kegilaan mirip Mr.Fred.
Ayah lukman adalah teman karib Mr.Fred ketika menggelandang menjelajahi hutan Amazon, di sela belajar di Harvard University.
**
Bret.. bret.. brett bus yang kami tumpangi berhenti berdecit. Pepohonan berwarna jingga, pantulan dari sang surya yang sudah pamit ke peraduan di ufuk barat. Sebentar lagi gelap.
'han.. han..hantuuu" teriak Kanaya sambil terbata-bata. Dubrak... Kanaya menabrak Anggi yang sejak tadi asyik dengan kameranya. Anggi kesakitan kakinya terkilir. Mr.Fred dengan sigap membuka tas ranselnya, yang mirip toko Palugada (Apa lu butuh gue ada). Â "oleskan ini, 5 menit pasti sembuh kembali" Kata Fred menyulurkan parem kocok pemberian masyarakat dayak Kalimantan.
Sepelemparan batu bergerak-gerak seonggok benda hitam dengan sorot mata tajam, seperti mengeluarkan sinar.
"itu kuskus" sergah Mr. Fred dengan intonasi yang tenang. ' Kuskus itu mamalia berkantong. Mirip kanguru. Endemiknya memang di Papua. Bahasa latinnya Strigocuscus.
Guk... guk..guuuuuk.. lolongan anjing hutan dari kejauhan bersahutan,
"Apalah kataku sebelum berangkat, bus ini akan bermasalah " Pak lukman menggreundel di depanku seakan menelanjangiku
"Kevin, semua akan baik-baik saja" kataku sambil mencium kening bocah cerdas berwajah innocen itu.
"Karburator bocor" teriak Pak her. Hermanto nama lengkapnya sudah 25 tahun sebagai sopir. Bus yang kami tumpangi adalah hasil pembelian dari pesangon setelah  seperempat abad bekerja di Jawa. Kota Malang tepatnya.
Hutan Maruni nama hutan ini, sudah terkenal sebagai hutan angker . Belum lagi ketakutan adanya gerakan organisasi Papua Merdeka (OPM). Ibarat sebuah judul film. Maju kena mundur kena. Sama-sama jauh. Â Dan beresiko. Â Sepanjang jalan selepas pantai Maruni tidak satupun manusia yang di jumpai.
"Pa, gimana ini pesawat ke Jakarta jam 6.30"
"Tenang ma, semua akan sesuai agenda" kata Pak lukman menenangkan Bu prita.
"Dik Kaji, tolong kirim kendaraan ke KM 4, sebelum pantai Maruni. Bus mogok. Ini pulsa terakhir".
Aku putuskan untuk SMS Haji Watubun. Juragan bengkel mobil di Manokwari. Pulsa tinggal Rp. 400. SMS menjadi andalan. Fitur HP yang sudah mulai di tinggalkan. Untuk keadaan darurat ternyata berguna juga.
Mr. Fred pamit masuk ke hutan untuk BAB.
Pak Her,masih sibuk dengan karburator Busnya. Dari wajahnya terlihat pucat. Sepertinya menyesal telah menyengsarakan penumpang. Akupun menghampiri
"bagaimana keadaan mobilnya pak?'
"Karburator bocor, mesin over head"
"Apa yang harus di perbaiki pak?" tanyaku
"Karburator terbakar, tidak cukup sehari unuk memperbaikinya".
"Wah"..Dari belakang Bu Prita yang sedari tadi mendekap erat Kevin, bertambah cemas. Â Gelap mulai tiba. Ia khawatir asma Kevin kambuh. Mimpi untuk menghadiri Kompasianival 2018 di Jakarta perlahan mulai hilang.
Pulsa sudah tak bersisa meskipun sekedar SMS.
 Pak Lukman sibuk mencari ranting kering, untuk kemungkinan terburuk harus bermalam di tengah hutan itu.
"Ada yang masih punya pulsa?" Tanyaku
"Ini om!" Kevin menyembul dari pelukan bu Prita.
"Om pinjam HPnya ya?"
**
Sejurus kemudian sudah terhubung dengan Haji Watubun. Juragan besi tua dan mobil-mobil tua asli papua yang beristrikan wanita Madura.
Priiittt.... Bunyi peluit serentak menjingkatkan kami.
Saya bergegas menuju suara sempritan itu. Bagaimanapun keselamatan Mr. Fred adalah tanggungjawabku sebagai pemandu wisata.
Beberapa ranting pohon menampar pipi kanan kiri. Perihnya tidak terasa dibanding kuatir keselamatan Mr. Fred.
Gelap gulita, tapi saya bisa merasakan di sekitar tanah yang aku pijak pastilah banyak batu batu besar. Berbahaya jika aku terus berlari. Priiitttt.... Suara sempritan itu semakin dekat, sepertinya di balik batu.
Mr. Fred terdiam di atas batu itu, gembira ketika aku menyembul menghampirinya.
" Rif, lihatlah kelelawar buah yang bergelantungan di atas dahan randu". Tidak terlalu jauh segerombolan Kuskus lagi memperhatikan kami. "Sepertinya mereka habis rapat" aku menyahut sekenanya. Kelelawar pemakan buah bahasa latinnya Pteropodidae.
Bagi  Mr. Fred menemukan dua satwa itu dalam pandangan hal yang sangat mengagumkan.
Pukul 20.00 dari kejauhan sinar lampu mobil menyibak hutan.
Perlahan mendekat
Dari pintu belakang seorang berkopyah putih turun dari sedan.
Haji Watubun, membawa perlengkapan tempurnya dan sparepart karburator bus.
Istri Haji Watubun, Dik Asih. Anak dari adiknya ayah, meskipun usianya lebih tua 15 tahun, tapi dari segi silsilah masih tua aku. Maka Haji Watubun meskipun lebih tua memanggilku mas.
Tengah malam bus kembali bersuara brem.. brem..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H