Suatu hari di tahun 2001, di kampus sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Malang, penulis bergegas naik ke lantai 3 gedung perkuliahan, karena waktu kuliah sudah lewat sedikit. Sampai di lantai 3 ternyata belum ada dosen pengampu kuliah. Di daftar mata kuliah, pengampu kuliah adalah seorang professor lulusan luar negeri, terlihat gelar akademiknya.
Setelah di tunggu beberapa saat muncullah professor itu dengan memakai penyangga kaki. Kaki Profesor itu memang seperti kecil sebelah. Kita yang mengikuti kuliah menjadi terhening ketika beliau menyampaikan kuliah, kagum bercampur kasihan.
Kita kagum karena dengan keterbatasan fisiknya, beliau mampu mencapai gelar akademik tertinggi. Juga kasihan karena letak perkuliahan di lantai 3, kenapa tidak di letakkan di lantai 1, biar beliau tidak susah-susah naik ke atas.
Suatu saat professor terjatuh di tangga kampus, mahasiswa yang menolong justru di marahi. Ketika menentukan tempat perkuliahan dosen lain juga enggan untuk meng-istimawakan professor agar mengajar di lantai 1, karena pasti di tolak.
Difabel Tidak Mau Dianggap Berbeda
Menurut World Health Organization (WHO) difabel adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan, baik bersifat fisiologis, psikologis, maupun kelainan struktur maupun fungsi anatomis. Difabel atau disabilitas adalah istilah yang berasal dari kata different ability.
Beberapa teman difabel seringkali memang tidak mau di anggap memiliki kekurangan. Kita pun yang normal juga kadang merasa risih ketika sakit kita di lihat orang, seperti bisul di mata kaki atau jerawat di wajah kita jadi perhatian orang.
Sebentar lagi (6 -13 oktober 2019) Asian Para Games di gelar di Jakarta. Pesta olahraga para atlet difabel terbesar se Asia. Gelaran olahraga Para games ini mengikuti gelaran olahraga yang di ikuti atlet normal sebelumnya. Asean Para Games setelah gelaran Sea Games, Asian Para Games setelah gelaran Asian Games dan Paralympic games setelah ajang Olimpiade. Ajang Asian Para Games tidak semeriah Asian Games. Masyarakat bahkan banyak yang tidak mengerti jika Indonesia akan mempunyai hajat besar se Asia itu.
Wendra Afriana, seorang difabel yang juga penulis kompasiana dalam tulisannya mengatakan dia memimpikan ada kesetaraan antara orang difabel dan orang normal. Orang normal seharusnya tidak memicingkan mata ketika berhubungan dengan orang difabel.
Menurut penulis, ada 3 sikap orang menyikapi warga difabel. Pertama, orang yang memicingkan mata ketika melihat orang difabel. Orang ini menganggap orang difabel adalah seorang yang membebani orang lain. Jenis manusia seperti ini tidaklah banyak. Apalagi di tengah masyarakat beradab Negara Indonesia.