Ketika membaca media yang mengulas tentang usulan Fadli Zon agar debat di lakukan dengan bahasa Inggris, kemudian timses Jokowi menanggapi dengan mengajak debat dengan bahasa Arab saya terpingkal-pingkal. Ini salah satu lelucon yang mewarnai perjalanan pilpres.
Sebelumnya saya juga tersenyum penuh makna ketika, kedua kubu saling intip siapa kandidat cawapres yang akan di usung. Berlanjut dengan saling intip menentukan ketua tim sukses. Saya membayangkan saling intip itu seperti satu keluarga yang bertetangga. Yang satu beli kulkas tetangga yang lain panas langsung beli freezer. Tahu tetangganya beli freezer, dia bergegas beli mobil box refrigator.
Tentang usulan bahasa yang digunakan untuk debat itu juga lelucon yang nyata. Prabowo dan Sandiaga seorang pebisnis yang mempunyai relasi di luar negeri. Keduanya lulusan pendidikan di Amerika. Timnya mengusulkan debat dengan bahasa inggris saya membayangkan seekor ikan yang mengajak berlomba renang seekor singa. Sesuatu yang tidak relevan.Â
Maka, tim sukses Jokowi pun mengajak Prabowo -- Sandiaga untuk bedebat dengan memakai bahasa Arab dan tes membaca Alquran. Sesuatu yang jadi 'makanan sehari-hari' cawapres KH. Ma'ruf Amin. Dan 'barang asing' bagi Prabowo.
Pilpres 2019 masih 10 bulan lagi, waktu yang memungkinkan terjadinya lelucon politik. Inti dari usulan debat itu sebenarnya keinginan memperkuat kubunya dan melemahkan kubu yang lain.Â
Jika berlainan kubu kemungkinan terjadi 'bentrok' sangatlah besar. Bahkan riak kecil pun akan di manfaatkan menjadi riak yang lebih besar, sambil berharap riak kecil itu akan menjadi tsunami yang meluluhlantakkan pertahanan politik lawan.
Friksi antar kubu sebisa mungkin di netralisir, seperti statemen Andi Arif (politisi partai demokrat) yang menyebut Prabowo sebagai Jenderal Kardus. Jenderal kardus menurut hemat penulis sebutan yang sangat melecehkan, seperti jenderal matre. Karena ada kepentingan politik kasus yang berpotensi menjadi tsunami politik tersebut menjadi netral dan seperti tidak terjadi sesuatu.
Seorang teman wirausahawan, dulunya aktivis pergerakan mahasiswa saat ini focus di usaha. Sampai mengharamkan dirinya melihat dan membaca berita tentang politik dalam negeri. Dia beranggapan politik sudah tidak sehat untuk di ikuti. Selagi masih sama-sama satu kepentingan, musuh pun bisa menjadi kawan. Dan ketika kepentingannya berbeda, kawanpun bisa menjadi lawan.
Para ahli menganggap siapa yang bisa mengambil hati kaum milenial dan santri dia yang akan menang. Maka kedua kubu saling memposisikan dirinya sebagai titisan para milenial dan satunya seperti di paksa seperti santri. Orang milenial mempunyai ciri: sporty, taktis, smart. Kubu prabowo di wakili Sandiaga untu meraih simpati kaum milenial, sedangkan kubu yang satunya mewakilkan Jokowi sebagai delegasi milenial. Jika pembaca jeli, di sini juga mengandung lelucon.
Sandiaga yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren di klaim pendukungnya sebagai santri. Padahal cawapres yang santri KH. Ma'ruf Amin. Atau Jokowi yang akhir-akhir ini gencar berpakaian sporty dan membuat kesan orang milenial, padahal jejak keseharian sebelum jadi presiden tidak milenial.
Untuk menggapai jabatan politik haruslah bersifat lentur. Dia bisa seperti apapun (terlalu vulgar untuk menyebut bunglon). Belajar dari perjalanan politik Yusril Ihza Mahendra yang menahkodai PBB.Â