Menyoroti sejarah pendidikan Indonesia, rasanya baru kali ini semua jenjang sekolah harus belajar secara virtual. Istilah PJJ atau Pembelajaran Jarak Jauh menjadi trend selama pandemi melanda. Tahun 2021 pun tampaknya harus kembali belajar dari rumah.
Tentu banyak sekali pengalaman baru bagi siswa, orang tua, dan guru ketika beradaptasi dengan sistem pendidikan yang baru ini. Entah kenapa bagi mereka yang melek teknologi tak terlalu susah menghadapi "kemandirian belajar" seperti ini.
Lalu apa jadinya jika teknologi belum bisa menyatu dengan para pihak yang terlibat dalam PJJ?
Energi akan lebih terkuras dalam ngulik aplikasi virtual dibandingkan persiapan materi. Waktu lebih banyak terbuang saat menghadapi jaringan yang tidak mendukung. Pikiran sang guru pun akan tersiksa dengan efektivitas proses belajar mengajar.
Apakah materi tersampaikan dengan baik? Apakah nilai yang didapat siswa benar-benar murni? Dan mungkinkah pendidikan model PJJ ini akan terus berlangsung? Kapan kembali normal?
Sederet pertanyaan mungkin bisa jadi pemenuh kuota kata dalam artikel ini. Keluhan demi keluhan dari para orang tua berpotensi menjadi buku akhir tahun yang cukup tebal.
Berbicara orang tua maka erat kaitannya sebagai pihak yang paling terdepan dalam PJJ selain guru atau tenaga pengajar di sekolah. Orang tua menjadi ujung tombak dalam mengondisikan anaknya untuk sekolah. Bukan hanya mengantar anak ke gerbang sekolah, seperti biasanya, kini orang tua sudah harus duduk berjam-jam menemani sang anak sekolah.
Saya, orang tua dari dua anak balita yang belum sekolah, belajar banyak hal terkait persiapan yang harus dihadapi jika dalam 1-2 tahun ke depan metode pembelajaran secara virtual masih bisa dilaksanakan. Bukan berarti pesimis wabah corona tidak hilang. Tentu pandemi ini harapannya cepat berakhir. Tetapi apakah metode pendidikan virtual tetap berakhir?
Sedikitnya ada tiga fakta di lapangan yang saya temukan ketika berdiskusi dengan orang tua murid tentang kisah belajar selama pandemi berlangsung,
Pertama, Pandemi Tidak Terlalu Berpengaruh
Pendapat ini saya dapat dari orang tua murid yang anaknya belajar di sekolah internasional di ibu kota. Proses belajar mengajar nyatanya tidak terlalu berdampak pada murid. Mungkin secara fisik tidak hadir di kelas. Tetapi standar pembelajarannya tetap sama.
Saya pun heran dibuatnya, mungkin pembaca juga berpikiran sama, bagaimana bisa saat pandemi ni pembelajaran tidak terlalu berpengaruh terhadap kualitas pendidikan si anak.
Kuncinya dalam standar pembelajarannya. Di sekolahnya terbiasa untuk mengharuskan murid menjadi seorang mandiri dan berpikir solutif.
Dalam beberapa tugas yang dikerjakan, ia dituntut untuk belajar mencari berita di internet, membuat solusi entah itu dari referensi atau pendapat pribadi, dan tentunya belajar mengekspresikan pikirannya. Sistem seperti ini sudah lumrah oleh murid. Sehingga ketika metode ini diterapkan kembali di pembelajaran virtual menjadi tidak susah bagi tenaga pengajar atau murid itu sendiri.
Setiap anak menjadi aktif untuk berbicara sehingga sekolah menjadi bukan percakapan satu arah dari guru ke murid. Tetapi justru menjadi saling berkomunikasi antar teman-temannya dan juga guru dengan muridnya.
Kedua, Susahnya Mandi Pagi
Belajar di rumah bukan menjadi alasan untuk tidak mandi pagi. Â Orang tua yang pernah saya temui mengeluh susahnya mengajak anaknya untuk mandi pagi. Kebiasaan saat "sekolah normal" sangat susah dan menjadi lebih susah saat pandemi. Sekalipun sekolahnya tetap di rumah.
Emosi sempat tidak terpadamkan. Jengkel tentu ada. Tapi mau bagaimana lagi, mandi pagi menjadi rutinitas paling awal sebagai "tiket" untuk sekolah. Tidak mungkin sekolah tanpa mandi, bukan? Bisa saja sih tapi tidak etis menurut hemat saya.
Setelah ritual pertama selesai maka sarapan dan bersiap duduk dengan tangan yang diletakkan di atas meja belajar. Jepretan kamera sebagai penanda hadir si anak dalam "sekolah barunya". Meski lupa tidak dipakaikan celana seragam.
Ketiga, Kebanyakan Orang tua yang jadi Murid
Orang tua murid adalah orang tua yang jadi murid. Anekdot ini pas disematkan untuk orang tua masa kini. Orang tua kembali belajar pelajaran SD dan SMP.
Kebetulan orang tua yang saya maksud, memiliki anak yang sekolah di tingkat dasar dan menengah pertama. Mereka, orang tua yang lebih memperhatikan perkataan tugas gurunya dibandingkan anaknya. Mereka, orang tua juga yang lebih keras mengerjakan tugas yang diberikan gurunya.
Pengalaman ini saya dapatkan ketika berbincang mengenai susahnya mengerjakan ujian bahasa daerah. Yang akhirnya terpaksa orang tua menjadi murid yang mengerjakan setiap soal yang diujikan.
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa unik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI