Mohon tunggu...
Kang Dri An
Kang Dri An Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger pemula yang hobi menonton film, traveling, dan wisata kuliner

Newbie Blogger, Rookie Traveler, Movie Enthusiast, Joy Seeker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan, Kenangan, dan Aku

2 Oktober 2020   00:27 Diperbarui: 5 Oktober 2020   15:11 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pemandangan siang menjelang sore ini romantis sekaligus mencekam. Jarang sekali kutemui dua suasana berlawanan hadir dalam kurun waktu yang bersamaan. 

Romantisme hujan dengan curah sedang, sinar matahari yang masih cukup terang, angin yang tidak begitu kencang, namun diiringi petir yang hadir cukup sering dan lantang. Karena seringnya, langit seperti dihiasi lampu disko. Berkelap-kelip dengan caranya yang mengerikan. 

Ketika langit sedang terlihat murka, tak segan ia mengeluarkan dua jenis petirnya yang paling dahsyat. Pertama, petir dengan suara dentuman kencang disertai getaran. Kedua, petir dengan suara seperti dahan pohon yang patah. 

Di kampung halamanku, petir tidak pernah terdengar mengerikan seperti di Kota Hujan ini. Sudah satu tahun lebih aku tinggal di Bogor dan mulai terbiasa dengan suasana ini. Terlalu terbiasa, hingga dengan sengaja kubuka jendela kamar. 

Aku menikmati hujan dan petir secara langsung, seperti menyaksikan orkestra di dalam gedung opera. Kudengarkan dengan saksama, komposisi indah dari tetes demi tetes air yang berjatuhan dari awan kumulunimbus ke atas seng, genting, talang, genangan air. Suaranya sangat merdu.

Beberapa menit kemudian, mendadak rasa takut itu menghilang sama sekali, tak berbekas. Barangkali, katup adrenalinku mulai imun dan tak sensitif terhadap gertakan petir-petir ini. 

Barangkali, amigdala di otakku sudah tidak mampu merasakan kengerian di level ini. Atau mungkin hujan ini berhasil membangkitkan kembali memori kelamku di masa lalu, sehingga kembali membuatku mati rasa.

Sebetulnya bukan memori kelam, hanya garis panjang romansa yang kini terputus dan kutinggalkan. Yang membuat kelam adalah peristiwa penghancuran sedahsyat bom nuklir yang seseorang jatuhkan tepat di pusat hidupku. 

Sehingga setelahnya, setiap detik yang bergulir di sana terasa berat dan menyiksa. Setiap jengkal tempat di sana merekam banyak sekali kenangan manis, namun ketika kuputar ulang, rasanya getir dan menyakitkan. 

Hatiku kini laksana kota mati. Sepi tak berpenghuni. Terlalu banyak kerusakan. Karenanya, aku memutuskan untuk pindah ke kota yang banyak orang sebut Kota Hujan. Namun aku menyebutnya kota pelarian, kota penghapus kenangan, kota penyembuh luka. 

Walaupun kini Bogor telah mengalami banyak kerusakan, namun sebesar apapun kerusakan ekologi yang dialaminya, tidak membuat trauma penduduknya. Lain halnya dengan kerusakan hatiku yang menyisakan radiasi. 

Rupanya aku terlalu hanyut dalam romansa hujan kenangan yang membuatku lupa sejenak akan diriku. Namun aku tidak pernah lupa siapa aku. Ayahku seorang pria perpaduan Arab Sunda yang menikahi gadis Bali. 

Entah apa yang ada di pikiran ibuku ketika menikahi ayah dan memutuskan untuk mengkonversi keyakinannya menjadi seorang muslim. Karena sampai saat ini, ibuku masih saja menjalankan beberapa ritual agama terdahulunya, seperti meletakkan canang atau banten yang terbuat dari daun kelapa muda atau janur, kemudian diisi pelbagai jenis macam bunga warna-warni, membakar dupa, dan sebagainya. 

Mungkin baginya, berpindah keyakinan hanya formalitas untuk dapat hidup resmi bersama ayahku yang seorang muslim. Aku tak mempermasalahkannya, pun kedua orang kakak perempuanku.

Bagi orang Bali, konsep Tri Hita Karana bukan sekadar ajaran, namun sebuah pedoman. Terbukti, meski harus saling melintasi pemikiran, keyakinan dan ritual yang berbeda, mereka masih dapat saling menghargai. 

Meleburnya dua ras dan keyakinan yang berbeda, berdampak pada keyakinan dan ciri fisik ketiga anak mereka. Kakakku nomor pertama perempuan, berkulit coklat namun bermata sayu khas orang Sunda, memilih beragama Katolik mengikuti suami. Yang kedua perempuan, berkulit kuning langsat dan bermata besar. Agama yang ia pilih Islam, berjilbab.

Aku nomor ketiga dan merasa beruntung karena mewarisi perpaduan yang orang bilang imbang di berbagai aspek. Kulitku putih, tapi tidak sepucat ayahku. Begitupun mataku yang kelopaknya tidak sempit namun tidak pula lebar. 

Selain secara fisik, keyakinanku pun demikian. Karena rasa sayangku yang berimbang pada kedua orang tuaku, maka sejak kecil aku merasa keyakinan mereka pun sama benarnya. Oleh sebab itu, kupungut semua ajaran-ajaran terbaik dari kedua agama mereka. 

Ayah dan Ibu memberiku nama Nyoman Yudha Kalisputra. Dalam tradisi Bali, anak ketiga biasanya diberi nama Nyoman atau Komang. Yudha diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya perang. 

Sedangkan Kalisputra, gabungan dari kata Kalis dan Putra. Maknanya kira-kira putra yang bersih, murni, kedap dan kebal terhadap pengaruh buruk dunia. Doa yang baik. Kurasa cukup mengimbangi makna dari nama tengahku.

Mungkin sekian dulu perkenalanku kali ini. Pastinya aku akan bercerita lagi tentang diriku lebih banyak nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun