Di sudut kota penuh hiruk pikuk,
Di antara gedung tinggi menjulang,
Ada jiwa kecil yang terjebak,
Dalam kerasnya hidup tanpa bintang terang.
Kakinya telanjang menyusuri jalan,
Tangannya kecil menggenggam mimpi besar,
Namun, dunia tak selalu berpihak,
Pada mereka yang lahir tanpa takdir cerah.
Di mata bocah itu, ada duka mendalam,
Bukan karena ia tak pernah tersenyum,
Namun karena senyum itu, ditutupi debu,
Debu dari harapan yang tak kunjung tiba.
Ia anak malang yang berlari tanpa tujuan,
Di balik pandangannya, ada kisah pilu,
Orang tua yang tak mampu memberi lebih,
Dan rumah yang hanya sejengkal tanah.
Ia terapung di angkasa malam
Bergelut menggulat duka
Nira kecut yang bersumber dari mata
Menderas dengan kaidah dendam
Tapi dendam pada siapa?
(Anak desa ibu bapa tak berharta
mabuk atas mimpi botak kepala)
Mimpi tinggal mimpi
Bekal apa buat menuntut ilmu ke kota?
Malam hanya bicara bagi malam
Matanya kelereng belimbing jingga
Hidup hanya percik-percik cuka
Ia termenung di hati malam
Walau sebuah piring perunggu
Melayang di atas kepalanya
Dan mengajaknya bercanda
Tetap ia menekuri dirinya
Malam-malamnya dingin, tak berpeluk,
Hanya beratapkan langit, beralaskan mimpi,
Ia tak mengenal kasur empuk,
Atau hangatnya dekapan ibu di pagi hari.
Kadang ia menatap jendela restoran,
Memandang anak-anak lain yang beruntung,
Berpikir kapan giliran untuk dirinya,
Merasakan nikmatnya hidup tanpa lapar.
Namun, di hatinya ada tekad baja,
Untuk melawan nasib, untuk bertahan,
Meski dunia sering kali kejam,
Ia percaya esok bisa lebih baik.
Anak malang itu tetap berlari,
Meski luka menggores di kaki,
Ia adalah simbol perjuangan,
Di antara kerasnya hidup, ia tetap teguh.
Ia mengajarkan kita tentang arti syukur,
Bahwa di balik semua kesusahan,
Ada jiwa yang tak pernah menyerah,
Meski takdir tak selalu indah.
Jangan kau abaikan anak malang itu,
Ia adalah cermin ketabahan,
Di mana harapan selalu ada,
Meski dunia kerap kali membutakan.
Anak malang, teruslah bermimpi,
Jangan biarkan dunia memadamkan cahayamu,
Karena dalam setiap langkah kecilmu,
Ada masa depan yang menantimu dengan senyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H