Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

AMPERA Sukarno Mengkritisi "Nusantara-isme"

29 Juli 2024   04:34 Diperbarui: 29 Juli 2024   04:34 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era kontemporer, wacana "Nusantara-isme" mulai mengemuka sebagai salah satu gagasan yang menarik perhatian banyak kalangan. Gagasan ini, yang berusaha mengekspresikan identitas keindonesiaan melalui perspektif lokal dan tradisional, kerap diklaim sebagai jalan tengah untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi bangsa ini. Namun, dari sudut pandang AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat) Soekarno, konsep "Nusantara-isme" ini perlu dikritisi secara mendalam.

Soekarno, dalam visinya mengenai AMPERA, menekankan pentingnya keadilan sosial, kemandirian nasional, dan keberanian untuk melawan segala bentuk penindasan, baik dari dalam maupun luar negeri. AMPERA tidak hanya sebatas slogan, tetapi merupakan manifestasi dari semangat perjuangan rakyat untuk mencapai kemerdekaan sejati yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak dasar seluruh lapisan masyarakat. Dalam kerangka inilah, kritik terhadap "Nusantara-isme" perlu diuraikan.

Pertama, "Nusantara-isme" kerap dipandang sebagai upaya untuk menggali kembali nilai-nilai lokal dan tradisional sebagai landasan pembangunan. Namun, kritik utama yang bisa diajukan adalah bahwa gagasan ini cenderung romantis dan tidak kontekstual dengan tantangan zaman modern. Soekarno, melalui pidato-pidatonya, sering mengingatkan pentingnya adaptasi dan inovasi dalam menghadapi perubahan global. Beliau menekankan bahwa meskipun kita harus bangga dengan warisan budaya, kita tidak boleh terjebak dalam nostalgia yang menghambat kemajuan. "Nusantara-isme" berpotensi menjadi alat politik untuk melanggengkan status quo dan menghindari reformasi yang sebenarnya dibutuhkan.

Kedua, "Nusantara-isme" sering diinterpretasikan sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dijunjung tinggi. Namun, AMPERA Soekarno menggarisbawahi bahwa kearifan lokal haruslah kritis dan progresif. Tidak semua tradisi dan nilai-nilai lokal relevan atau positif untuk diterapkan di masa kini. Misalnya, praktik-praktik adat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM atau yang menghambat partisipasi perempuan dalam berbagai bidang kehidupan harus ditinggalkan. Soekarno percaya bahwa nilai-nilai luhur bangsa harus diselaraskan dengan semangat zaman dan tuntutan kemajuan.

Ketiga, dalam perspektif AMPERA, gagasan "Nusantara-isme" juga berisiko menjadi alat legitimasi bagi elit politik untuk mempertahankan kekuasaan. Sejarah telah menunjukkan bahwa konsep-konsep identitas sering digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang sebenarnya merugikan rakyat. Dalam konteks ini, "Nusantara-isme" bisa saja dimanipulasi untuk mengalihkan perhatian dari masalah-masalah struktural seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Soekarno selalu menekankan pentingnya keadilan sosial sebagai fondasi utama pembangunan bangsa, dan setiap konsep atau ideologi haruslah diuji melalui prisma keadilan tersebut.

Keempat, AMPERA Soekarno menekankan pentingnya solidaritas internasional dan anti-imperialisme. "Nusantara-isme" yang terlalu fokus pada lokalitas berpotensi mengisolasi Indonesia dari dinamika global yang sebenarnya bisa memberikan manfaat besar jika diolah dengan bijak. Soekarno selalu mengingatkan bahwa Indonesia adalah bagian dari gerakan global melawan penindasan dan ketidakadilan, dan oleh karena itu, keterbukaan terhadap pengaruh positif dari luar adalah hal yang penting. Nasionalisme yang sehat menurut Soekarno adalah yang mampu berdiri tegak di tengah percaturan dunia tanpa kehilangan identitas, tetapi juga tanpa menutup diri dari kerjasama internasional.

Kelima, dalam kerangka AMPERA, pendidikan dan kesadaran politik rakyat adalah kunci utama untuk mencapai tujuan bangsa. "Nusantara-isme" yang tidak disertai dengan upaya mendidik rakyat tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara berpotensi menjadi wacana yang kosong. Soekarno selalu menekankan bahwa rakyat harus sadar akan hak-haknya dan berpartisipasi aktif dalam proses politik dan pembangunan. Oleh karena itu, setiap ideologi atau konsep yang diusung harus mampu memberdayakan rakyat, bukan sebaliknya.

Dalam kesimpulannya, kritik terhadap "Nusantara-isme" dari perspektif AMPERA Soekarno menekankan bahwa meskipun gagasan ini memiliki niat baik untuk menggali dan mengangkat nilai-nilai lokal, namun harus diimbangi dengan kesadaran kritis, progresivitas, dan keberanian untuk melakukan reformasi. Identitas nasional yang sejati bukanlah yang statis dan nostalgis, melainkan yang dinamis dan responsif terhadap perubahan zaman serta tuntutan keadilan sosial. Soekarno mengajarkan kita untuk selalu berpikir maju, beradaptasi dengan perubahan, dan tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan bagi seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun