Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Absurditas Gagasan HAM

24 Juli 2024   06:46 Diperbarui: 24 Juli 2024   06:49 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**Absurdity of the Human Rights Concept**

Konsep hak asasi manusia telah lama dirayakan sebagai standar universal untuk menjamin martabat, kebebasan, dan kesetaraan bagi semua individu. Berakar dari pasca Perang Dunia II, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada tahun 1948 adalah langkah monumental menuju pembentukan kerangka kerja bersama untuk melindungi hak-hak dasar manusia. Namun, meskipun memiliki niat yang mulia, penerapan dan interpretasi hak asasi manusia seringkali menyebabkan kontradiksi dan absurditas yang menantang fondasinya.

### Idealisme versus Realitas

UDHR menggambarkan visi idealistik tentang dunia di mana setiap individu menikmati hak dan kebebasan yang setara. Pasal 1 menyatakan, "Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak." Namun, kenyataannya sangat berbeda. Implementasi hak asasi manusia sangat bervariasi di berbagai negara, sering mencerminkan perbedaan politik, ekonomi, dan budaya. Kesenjangan antara ideal dan realitas ini menimbulkan pertanyaan tentang praktikalitas dan universalitas hak asasi manusia.

Misalnya, meskipun hak atas kebebasan berbicara dijamin dalam Pasal 19 UDHR, banyak pemerintah terus menyensor suara-suara yang berbeda pendapat dan menekan kebebasan berekspresi. Negara-negara seperti Cina, Rusia, dan Arab Saudi berulang kali dikritik atas pembatasan mereka terhadap kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat politik. Penerapan selektif hak asasi manusia ini menyoroti absurditas mengharapkan standar yang seragam dipertahankan di berbagai rezim politik.

### Relativisme Budaya dan Hak Asasi Manusia

Salah satu tantangan mendasar terhadap universalitas hak asasi manusia adalah relativisme budaya. Masyarakat yang berbeda memiliki nilai, tradisi, dan norma yang berbeda yang membentuk pemahaman mereka tentang hak dan kebebasan. Apa yang dianggap sebagai hak fundamental dalam satu budaya mungkin tidak memiliki signifikansi yang sama dalam budaya lain.

Sebagai contoh, konsep hak-hak perempuan telah menjadi isu yang kontroversial di banyak masyarakat konservatif. Meskipun kesetaraan gender adalah tonggak hak asasi manusia, keyakinan budaya dan agama yang mendalam sering bertentangan dengan prinsip ini. Di negara-negara seperti Arab Saudi dan Iran, hak-hak perempuan sangat dibatasi, dibenarkan oleh doktrin budaya dan agama. Penerapan standar universal hak asasi manusia pada masyarakat seperti itu dapat dianggap sebagai bentuk imperialisme budaya, yang merongrong kedaulatan dan tradisi bangsa-bangsa ini.

### Hak Asasi Manusia dan Kepentingan Politik

Konsep hak asasi manusia sering dimanipulasi untuk melayani kepentingan politik. Negara-negara yang kuat sering menggunakan hak asasi manusia sebagai alat untuk membenarkan intervensi dan mempengaruhi negara lain. Advokasi selektif ini merongrong kredibilitas wacana hak asasi manusia dan mengungkapkan absurditas yang melekat di dalamnya.

Amerika Serikat, misalnya, memiliki sejarah menggunakan hak asasi manusia untuk membenarkan intervensi militer di negara-negara seperti Irak, Afghanistan, dan Libya. Meskipun intervensi ini dibingkai sebagai upaya untuk melindungi hak asasi manusia dan mempromosikan demokrasi, mereka sering mengakibatkan korban sipil yang signifikan, destabilisasi, dan konflik yang berkepanjangan. Pada saat yang sama, AS mempertahankan aliansi dengan rezim otoriter yang secara sistematis melanggar hak asasi manusia, seperti Arab Saudi dan Mesir, yang menyoroti standar ganda yang mencolok.

### Ketimpangan Ekonomi dan Hak Asasi Manusia

Ketimpangan ekonomi semakin memperumit realisasi hak asasi manusia. Hak atas standar hidup yang layak, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 25 UDHR, tetap menjadi mimpi yang jauh bagi miliaran orang di seluruh dunia. Kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin menggarisbawahi keterbatasan kerangka hak asasi manusia dalam menangani ketimpangan ekonomi sistemik.

Di banyak negara berkembang, akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan sangat terbatas. Kebijakan ekonomi neoliberal yang dipromosikan oleh negara-negara kuat dan lembaga internasional sering memperburuk ketimpangan ini, merongrong kemampuan komunitas yang terpinggirkan untuk menggunakan hak mereka. Kesenjangan antara realitas ekonomi dan cita-cita hak asasi manusia ini menyoroti absurditas mengharapkan dunia yang adil dan sejahtera hanya melalui lensa hak asasi manusia.

### Peran Aktor Non-Negara

Aktor non-negara, seperti perusahaan multinasional dan organisasi internasional, memainkan peran signifikan dalam membentuk lanskap hak asasi manusia. Meskipun entitas-entitas ini tidak secara langsung bertanggung jawab kepada prinsip-prinsip UDHR, tindakan mereka memiliki implikasi yang mendalam terhadap hak asasi manusia di seluruh dunia.

Perusahaan multinasional sering beroperasi di negara-negara dengan hukum ketenagakerjaan dan perlindungan hak asasi manusia yang lemah, mengeksploitasi pekerja dan sumber daya alam untuk keuntungan. Degradasi lingkungan, kondisi kerja yang buruk, dan eksploitasi komunitas lokal adalah masalah umum yang terkait dengan aktivitas korporasi. Meskipun terjadi pelanggaran ini, menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas pelanggaran hak asasi manusia tetap menjadi tantangan, yang mengungkapkan kesenjangan kritis dalam kerangka hak asasi manusia.

### Menuju Pendekatan Pragmatis

Absurdnya konsep hak asasi manusia tidak menegasikan pentingnya atau kebutuhannya. Sebaliknya, ini menyerukan pendekatan yang lebih pragmatis dan kontekstual terhadap hak asasi manusia. Mengakui keterbatasan dan kontradiksi yang melekat dalam kerangka kerja saat ini dapat membuka jalan bagi solusi yang lebih efektif dan adil.

Pendekatan pragmatis terhadap hak asasi manusia akan melibatkan pengakuan terhadap perbedaan budaya dan keterlibatan dalam dialog yang bermakna dengan masyarakat yang beragam. Ini akan membutuhkan negara-negara kuat untuk menangani kekurangan hak asasi manusia mereka sendiri dan mengadopsi kebijakan yang konsisten yang memprioritaskan martabat manusia di atas kepentingan politik. Selain itu, menangani ketimpangan ekonomi sistemik dan menuntut pertanggungjawaban aktor non-negara adalah langkah penting menuju mewujudkan potensi sejati hak asasi manusia.

### Kesimpulan

Konsep hak asasi manusia, meskipun berakar pada cita-cita yang mulia, sering bergulat dengan kontradiksi dan absurditas dalam penerapannya. Kesenjangan antara ideal dan realitas, relativisme budaya, manipulasi politik, ketimpangan ekonomi, dan peran aktor non-negara semuanya menantang universalitas dan efektivitas hak asasi manusia. Pendekatan yang lebih pragmatis, berdasarkan konteks dan keadilan, sangat penting untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa hak asasi manusia benar-benar melayani martabat dan kesejahteraan semua individu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun