Di sudut kota yang terlupakan,
Di antara jalan sempit berliku,
Di sana berdiri rumah-rumah reyot,
Berlapis debu, berbalut kenangan suram.
Pintu kumuh itu tak pernah tertutup rapat,
Mengintipkan secercah cahaya remang,
Mengantar mimpi yang kerap terjaga,
Di balik dinginnya malam tanpa pelukan.
Di kamar sempit, di ranjang usang,
Seorang anak kecil menggenggam asa,
Mimpinya melintasi batas kenyataan,
Berjalan di atas awan, meraih bintang.
Dengan mata tertutup, ia terbang jauh,
Menyusuri ladang hijau, menyapa langit biru,
Di sana tak ada kelaparan, tak ada ketakutan,
Hanya tawa ceria dan harapan tak bertepi.
Namun, pagi datang mengusir mimpi indah,
Matahari menyinari kehidupan pahit,
Kembali ia tersadar di rumah kumuh,
Bersama suara riuh dan beban hidup.
Di luar, gemuruh kota tak pernah henti,
Mengalirkan hiruk-pikuk tanpa belas kasihan,
Tapi di dalam hati si anak kecil,
Mimpi itu masih hidup, terus menyala.
Ia percaya, suatu hari nanti,
Pintu kumuh itu akan terbuka lebar,
Membawanya keluar dari kegelapan,
Menuju dunia yang penuh dengan keajaiban.
Dengan tekad baja dan doa suci,
Ia jalani hari demi hari tanpa lelah,
Karena ia tahu, mimpi itu adalah pelita,
Yang menuntunnya keluar dari jurang nestapa.
Di balik pintu kumuh, tersimpan harapan,
Bahwa setiap mimpi bisa menjadi nyata,
Asalkan berani melangkah dan tak menyerah,
Melawan arus nasib, menantang takdir.
Mimpi di balik pintu kumuh adalah saksi,
Dari jiwa yang tak pernah padam semangat,
Mengajarkan kita untuk selalu percaya,
Bahwa di balik kegelapan, ada cahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H