Kebijakan neoliberal, yang sering dikaitkan dengan pasar bebas, privatisasi, dan pengurangan peran negara dalam ekonomi, telah menjadi bahan perdebatan sengit di seluruh dunia. Di Indonesia, dampaknya sangat terasa terutama dalam konteks permukiman di perkotaan. Kebijakan ini telah menyebabkan ketimpangan permukiman yang semakin parah, menciptakan jurang besar antara kelompok masyarakat yang berbeda.
**Privatisasi dan Pengurangan Peran Negara**
Privatisasi adalah salah satu pilar utama dari kebijakan neoliberal. Di Indonesia, banyak aset negara yang dijual kepada pihak swasta dengan harapan akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas.Â
Namun, dalam konteks permukiman, privatisasi sering kali berarti bahwa lahan yang sebelumnya digunakan untuk permukiman rakyat dijual kepada pengembang swasta untuk dijadikan kompleks perumahan mewah atau pusat bisnis. Dampaknya adalah masyarakat berpenghasilan rendah yang sebelumnya tinggal di area tersebut dipaksa untuk pindah ke pinggiran kota atau daerah yang kurang berkembang.
Pengurangan peran negara dalam penyediaan perumahan juga berdampak negatif. Sebelum era neoliberal, pemerintah sering kali terlibat langsung dalam pembangunan perumahan rakyat melalui berbagai program perumahan. Namun, dengan adanya kebijakan neoliberal, peran ini semakin berkurang dan diserahkan kepada pasar. Akibatnya, pembangunan perumahan menjadi lebih mengutamakan keuntungan daripada kesejahteraan masyarakat.
**Ketidakadilan dalam Akses terhadap Lahan dan Permukiman**
Salah satu dampak paling mencolok dari kebijakan neoliberal adalah ketidakadilan dalam akses terhadap lahan dan permukiman. Di perkotaan, lahan yang strategis dan memiliki nilai tinggi sering kali dikuasai oleh segelintir elit dan pengembang besar. Mereka memiliki kekuatan finansial dan politik untuk mendapatkan lahan-lahan tersebut, sementara masyarakat berpenghasilan rendah hanya bisa mengakses lahan di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota.
Ketimpangan ini juga terlihat dalam kualitas permukiman. Permukiman elit di pusat kota biasanya dilengkapi dengan berbagai fasilitas mewah seperti taman, pusat perbelanjaan, dan akses transportasi yang baik. Sementara itu, permukiman masyarakat berpenghasilan rendah di pinggiran sering kali kekurangan fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan akses transportasi yang memadai. Ketimpangan ini memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di permukiman pinggiran.
**Gentrifikasi dan Penggusuran**
Fenomena gentrifikasi adalah contoh lain dari bagaimana kebijakan neoliberal berkontribusi pada ketimpangan permukiman. Gentrifikasi terjadi ketika daerah yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah diambil alih dan dikembangkan menjadi daerah yang lebih mahal dan eksklusif. Proses ini sering kali melibatkan penggusuran paksa terhadap penduduk asli, yang kemudian tidak mampu membeli atau menyewa rumah di daerah yang telah berkembang tersebut.
Di banyak kota besar di Indonesia, gentrifikasi menjadi masalah serius. Misalnya, di Jakarta, banyak daerah kumuh yang digusur untuk pembangunan apartemen mewah, hotel, dan pusat perbelanjaan. Penduduk yang digusur sering kali tidak mendapatkan kompensasi yang layak dan terpaksa pindah ke daerah yang lebih jauh dan kurang berkembang. Dampaknya adalah peningkatan jumlah permukiman kumuh di pinggiran kota dan semakin melebar jurang ketimpangan sosial.
**Penyediaan Infrastruktur yang Tidak Merata**
Salah satu argumen utama pendukung kebijakan neoliberal adalah bahwa pasar bebas akan meningkatkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam kenyataannya, penyediaan infrastruktur yang didorong oleh pasar sering kali tidak merata. Pengembang swasta cenderung membangun infrastruktur di daerah yang dianggap menguntungkan secara ekonomi, seperti pusat bisnis dan permukiman elit. Sementara itu, daerah permukiman masyarakat berpenghasilan rendah sering kali diabaikan dan kekurangan infrastruktur dasar.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan ketimpangan. Tanpa infrastruktur yang memadai, masyarakat berpenghasilan rendah sulit untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Akses yang terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan membuat mereka terjebak dalam kemiskinan dan semakin tertinggal dari kelompok masyarakat yang lebih kaya. Ketimpangan ini semakin parah ketika pemerintah gagal atau enggan untuk campur tangan dan memperbaiki situasi.
**Kebutuhan akan Kebijakan yang Lebih Adil**
Untuk mengatasi ketimpangan permukiman yang diakibatkan oleh kebijakan neoliberal, diperlukan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu kembali mengambil peran aktif dalam penyediaan perumahan dan infrastruktur dasar. Program perumahan rakyat harus dihidupkan kembali dan didukung dengan anggaran yang memadai.
Selain itu, regulasi yang ketat terhadap pengembang swasta perlu diterapkan untuk mencegah gentrifikasi dan penggusuran paksa. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap pengembangan baru di perkotaan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat setempat dan menyediakan kompensasi yang adil bagi mereka yang terdampak.
Kesimpulannya, kebijakan neoliberal telah menyebabkan ketimpangan permukiman yang semakin parah di perkotaan Indonesia. Privatisasi, pengurangan peran negara, gentrifikasi, dan penyediaan infrastruktur yang tidak merata semuanya berkontribusi pada masalah ini. Untuk menciptakan kota yang lebih adil dan inklusif, diperlukan kebijakan yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah dan memastikan akses yang merata terhadap perumahan dan infrastruktur dasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H