Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Omnibus Law: Derita Pekerja Kontrak Tak Berujung

22 Juli 2024   07:13 Diperbarui: 22 Juli 2024   07:25 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah Omnibus Law telah menjadi topik kontroversial di Indonesia sejak diresmikan pada tahun 2020. Salah satu aspek yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah dampaknya terhadap pekerja kontrak. 

Meski bertujuan untuk meningkatkan investasi dan memperbaiki iklim usaha, banyak pihak menilai bahwa Omnibus Law justru memperburuk kondisi pekerja kontrak. Pekerja kontrak kini menghadapi ketidakpastian yang semakin besar, dengan perlindungan yang minim dan kesejahteraan yang terancam.

**Pekerja Kontrak dalam Omnibus Law**

Salah satu perubahan signifikan yang dibawa oleh Omnibus Law adalah fleksibilitas dalam kontrak kerja. Sebelum adanya undang-undang ini, peraturan ketenagakerjaan memberikan batasan yang jelas mengenai durasi kontrak dan jangka waktu maksimal untuk kontrak kerja sementara. Namun, dengan diberlakukannya Omnibus Law, aturan tersebut menjadi lebih longgar. Perusahaan dapat memperpanjang kontrak kerja tanpa batas waktu yang jelas, sehingga pekerja kontrak berada dalam posisi yang rentan.

Fleksibilitas kontrak ini mungkin menguntungkan bagi perusahaan karena mereka dapat dengan mudah menyesuaikan jumlah tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan bisnis. Namun, bagi pekerja kontrak, situasi ini menciptakan ketidakpastian yang berkepanjangan. Mereka tidak pernah tahu kapan kontrak mereka akan berakhir atau diperpanjang, dan hal ini berdampak pada kestabilan hidup mereka, baik dari segi finansial maupun psikologis.

**Minimnya Perlindungan dan Kesejahteraan**

Selain ketidakpastian kontrak, Omnibus Law juga mengurangi berbagai perlindungan yang sebelumnya diberikan kepada pekerja. Salah satu contohnya adalah penghapusan atau pengurangan hak atas pesangon bagi pekerja yang kontraknya tidak diperpanjang. Sebelum adanya undang-undang ini, pekerja yang diberhentikan memiliki hak untuk mendapatkan pesangon sebagai bentuk kompensasi atas pengabdian mereka. Namun, dengan Omnibus Law, hak ini menjadi semakin terbatas.

Tidak hanya itu, Omnibus Law juga mengubah ketentuan mengenai upah minimum. Pekerja kontrak, yang umumnya mendapatkan upah lebih rendah dibandingkan pekerja tetap, semakin terjepit dengan adanya fleksibilitas penetapan upah minimum berdasarkan sektor dan wilayah. Penerapan upah minimum sektoral yang lebih rendah di beberapa daerah industri mengakibatkan kesejahteraan pekerja kontrak semakin terpuruk.

**Ketidakpastian Jaminan Sosial**

Jaminan sosial menjadi salah satu aspek penting dalam kesejahteraan pekerja. Namun, dengan diberlakukannya Omnibus Law, jaminan sosial bagi pekerja kontrak juga mengalami ketidakpastian. Fleksibilitas dalam perekrutan dan pemutusan hubungan kerja membuat banyak pekerja kontrak tidak terdaftar dalam program jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Akibatnya, mereka tidak memiliki perlindungan ketika terjadi kecelakaan kerja, sakit, atau di usia pensiun.

Minimnya akses terhadap jaminan sosial ini membuat pekerja kontrak berada dalam posisi yang sangat rentan. Ketika mereka sakit atau mengalami kecelakaan, biaya pengobatan menjadi beban yang harus ditanggung sendiri. Begitu pula ketika mereka mencapai usia pensiun, tidak ada jaminan dana pensiun yang bisa diandalkan. Situasi ini jelas memperlihatkan bahwa kesejahteraan pekerja kontrak tidak menjadi prioritas dalam Omnibus Law.

**Solusi dan Harapan**

Kritik terhadap Omnibus Law yang dirasakan oleh pekerja kontrak harus segera ditanggapi oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk memperbaiki kondisi ini. Pertama, perlunya peninjauan kembali terhadap aturan kontrak kerja dalam Omnibus Law agar lebih memberikan kepastian dan perlindungan bagi pekerja. Pembatasan durasi kontrak dan kepastian perpanjangan kontrak harus diatur secara lebih jelas untuk menghindari eksploitasi pekerja.

Kedua, perlindungan hak atas pesangon harus dikembalikan atau bahkan ditingkatkan. Pekerja kontrak yang diberhentikan setelah masa kontrak selesai harus mendapatkan kompensasi yang layak sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka. Ketiga, penetapan upah minimum sektoral harus diperhatikan dengan lebih seksama agar tidak merugikan pekerja kontrak. Upah minimum harus tetap mampu menjamin kebutuhan hidup layak bagi pekerja di berbagai sektor dan wilayah.

Terakhir, akses terhadap jaminan sosial harus dipastikan bagi semua pekerja, termasuk pekerja kontrak. Pemerintah perlu memastikan bahwa perusahaan mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program jaminan sosial dan membayar iuran yang diperlukan. Dengan demikian, pekerja kontrak akan mendapatkan perlindungan yang memadai dalam hal kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua.

**Kesimpulan**

Omnibus Law, yang awalnya dimaksudkan untuk memperbaiki iklim investasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, telah membawa dampak negatif yang signifikan bagi pekerja kontrak. Ketidakpastian kontrak, minimnya perlindungan, dan ketidakpastian jaminan sosial menjadi derita yang harus mereka hadapi setiap hari. 

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah nyata untuk memperbaiki situasi ini agar kesejahteraan pekerja kontrak dapat terjaga dan hak-hak mereka dihormati. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk menciptakan sistem ketenagakerjaan yang lebih adil dan manusiawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun