Mohon tunggu...
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA
DIMAS MUHAMMAD ERLANGGA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Gerakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) Caretaker Komisariat Universitas Terbuka
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca Buku Dan Mendengarkan Musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menguji Kebijaksanaan Satu Negara Dua Sistem untuk Indonesia

21 Juli 2024   20:29 Diperbarui: 21 Juli 2024   20:35 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep "satu negara dua sistem" telah menjadi topik diskusi yang menarik di kalangan akademisi, politikus, dan masyarakat luas. Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Deng Xiaoping untuk Hong Kong dan Makau, dengan tujuan menjaga stabilitas dan memfasilitasi integrasi kedua wilayah tersebut ke dalam Republik Rakyat Tiongkok sambil mempertahankan sistem ekonomi dan administrasi yang berbeda. Mengingat keberagaman yang ada di Indonesia, menarik untuk menguji apakah kebijaksanaan serupa dapat diterapkan dalam konteks Indonesia.

**Keberagaman di Indonesia**

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, dihuni oleh ratusan suku bangsa yang berbicara dalam ratusan bahasa dan dialek yang berbeda. Keragaman ini tidak hanya terbatas pada aspek budaya dan etnis, tetapi juga mencakup variasi dalam kondisi ekonomi dan sosial antar daerah. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah menghadapi tantangan untuk menyatukan keberagaman ini dalam bingkai kesatuan negara. Namun, konflik horizontal dan ketimpangan pembangunan masih menjadi isu yang mempengaruhi stabilitas nasional.

**Konsep Satu Negara Dua Sistem**

Konsep "satu negara dua sistem" bertujuan untuk mengakomodasi perbedaan signifikan dalam sistem ekonomi dan politik di bawah payung satu negara yang berdaulat. Dalam konteks Indonesia, ini bisa berarti memberikan otonomi yang lebih besar kepada daerah-daerah tertentu untuk menjalankan sistem administrasi dan kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kondisi lokal mereka, sementara tetap berada dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.

**Potensi Penerapan di Indonesia**

Indonesia sudah memiliki pengalaman dengan desentralisasi dan otonomi daerah, terutama setelah reformasi tahun 1998. Kebijakan desentralisasi memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan lokal. Provinsi Aceh, misalnya, telah menikmati otonomi khusus yang memberikan mereka hak untuk menerapkan hukum syariah. Demikian pula, Papua dan Papua Barat memiliki status otonomi khusus dengan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya alam dan urusan internal.

Namun, konsep "satu negara dua sistem" bisa menawarkan pendekatan yang lebih terstruktur dan resmi dalam mengelola keberagaman ini. Alih-alih hanya memberikan otonomi dalam batas tertentu, setiap daerah yang memenuhi kriteria tertentu bisa diberikan kebebasan untuk mengatur sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hukum yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal.

**Tantangan Implementasi**

Meskipun konsep ini terdengar menarik, implementasinya di Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan. Pertama, perlu adanya kesepakatan nasional tentang kriteria dan mekanisme yang jelas untuk menentukan daerah mana yang berhak mendapatkan status khusus ini. Kedua, ada risiko terjadinya ketimpangan yang semakin lebar antara daerah yang diberikan kebebasan lebih besar dengan daerah yang tetap di bawah kendali pusat. Ini bisa memicu ketidakpuasan dan potensi konflik baru.

Selain itu, diperlukan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa kebijakan lokal yang diterapkan tetap sejalan dengan prinsip dasar negara kesatuan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sebagai contoh, penerapan hukum syariah di Aceh telah menuai kontroversi terkait pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan kelompok minoritas.

**Belajar dari Pengalaman Negara Lain**

Hong Kong dan Makau adalah contoh nyata dari penerapan konsep "satu negara dua sistem". Namun, situasi politik dan sosial di kedua wilayah tersebut menunjukkan bahwa konsep ini tidak tanpa masalah. Ketegangan antara Hong Kong dan pemerintah pusat di Beijing meningkat dalam beberapa tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa ada batasan dalam fleksibilitas sistem ini.

Di luar Tiongkok, beberapa negara federal seperti Amerika Serikat dan Jerman juga menunjukkan bagaimana otonomi lokal yang luas dapat dikelola dalam kerangka kesatuan negara. Namun, Indonesia perlu mempertimbangkan perbedaan mendasar dalam struktur politik, budaya, dan sejarah sebelum mengadopsi pendekatan serupa.

**Kesimpulan**

Mengadopsi konsep "satu negara dua sistem" di Indonesia bisa menjadi solusi inovatif untuk mengelola keberagaman dan ketimpangan antar daerah. Namun, ini memerlukan perencanaan yang matang, mekanisme pengawasan yang ketat, dan komitmen untuk menjaga kesatuan nasional. Selain itu, perlu ada dialog nasional yang inklusif untuk memastikan bahwa semua pihak, terutama masyarakat di daerah yang paling terdampak, terlibat dalam proses pengambilan keputusan ini. Dengan demikian, Indonesia dapat mencari jalan tengah yang harmonis antara desentralisasi dan kesatuan, yang dapat memajukan kesejahteraan seluruh rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun