Di senyap malam yang sunyi,
Terdengar tangis tanpa suara,
Lara mengendap dalam jiwa,
Mengiringi langkah yang gontai.
Langit kelabu tak bersahabat,
Menggantungkan pilu yang berat,
Hati terhimpit beban tak kasat,
Duka merajut sunyi dalam sepi.
Ada rindu yang tertahan,
Pada masa lalu yang tak terulang,
Bayangan indah yang perlahan menghilang,
Menyisakan luka yang dalam.
Tatapan mata kosong menatap hampa,
Mencari makna dalam gelap gulita,
Tiada kata yang mampu menggambarkan,
Kesedihan yang mencekam jiwa.
Duka ini bukan sekadar air mata,
Ia adalah rintihan jiwa yang terperangkap,
Dalam kenangan yang menyesakkan dada,
Menyelimuti hari-hari dengan kelam.
Di balik senyum yang dipaksakan,
Ada luka yang tak kunjung sembuh,
Duka tanpa kata yang terpendam,
Menjadi beban dalam setiap tarikan napas.
Dalam kesendirian yang membelenggu,
Terdapat harapan yang mulai pudar,
Namun di ujung lorong kesedihan,
Mungkin ada cahaya yang menanti.
Setiap hembusan angin malam,
Seolah membawa pesan dari langit,
Bahwa duka ini akan berlalu,
Meski tanpa kata, meski tanpa suara.
Duka ini, adalah bagian dari perjalanan,
Yang harus dilalui meski penuh kepedihan,
Karena dalam setiap tetes air mata,
Tersimpan kekuatan untuk bangkit kembali.
Dan saat fajar menyingsing,
Mengusir gelap yang menyelimuti,
Akan ada harapan yang terbit,
Menyambut hari baru dengan senyum.
Duka tanpa kata ini,
Akan menjadi kenangan yang menguatkan,
Bahwa dalam setiap kepedihan,
Terdapat pelajaran yang berharga.
Kini, di penghujung malam yang dingin,
Aku biarkan duka ini mengalir,
Menghapus luka yang terpendam,
Dan perlahan, aku bangkit kembali.
Meski tanpa kata, meski tanpa suara,
Duka ini telah mengajarkan,
Bahwa aku lebih kuat dari yang kukira,
Dan esok, akan ada hari yang lebih cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H